Rabu, 03 Februari 2010

Menebar Pendidikan Humanis di Pesantren

Oleh : M. Kamil Akhyari *)


Beberapa hari yang lalu, bertepatan dengan tanggal 29 Januari 2010 pukul 06:00 saat saya mau pergi mengaji kitab, saya kaget dan heran melihat beberapa santri berdiri di depan kantor Keamanan dan Ketertiban Santri (Kamtibsan) pagi-pagi. Setelah saya lihat ternyata mereka dihukum, terbukti dengan papan kecil yang ada di sampingnya bertuliskan “Sebab merokok kami seperti ini” dan tampak beberapa pengurus Kamtibsan yang sedang mengawasi mereka di depan kantornya.

Pengharaman merokok untuk santri yang pendidikannya masih rendah (Setingkat Madrasah Tsanawiyah) sebenarnya bukan Undang-Undang baru di Pesantren. Saat saya baru menginjakkan kaki di pondok pesantren, santri yang di jerat Undang Undang Pesantren (UUP) karena melanggar merokok sudah ada, tapi hanya segelintir orang santri, yang mengagetkan saya waktu itu karena santri yang dijerat hukum pagi itu tidak sedikit.

Pertanyaannya sekarang, kenapa bisa terjadi demikian, padahal mereka sebelumnya telah melihat teman-teman santri yang dihukum karena merokok?

Pertama, Undang-undang tidak konsisten. Undang-undang pondok pesantren memilah milih santri yang bisa merokok dan yang tidak. Dalam UUP itu tidak ada batasan yang konsisten. Terbukti santri yang boleh merokok ketika sudah menginjakkan kaki di Madrasah Aliah, entah umurnya berapa, apakah badan mereka sudah sedikit kebal atau tidak dari asap asalkan sudah menginjakkan kaki di bangku Madrasah Aliah, otomatis khitab pelarangan merokok luntut dari badannya. Padahal tidak sedikit santri yang kelasnya masih MTs tapi secara umur lebih tua dari yang duduk di kelas I Madrasah Aliah. Sementara santri yang masih Madrasah Tsanawiyah, entah mereka sudah kelar jantungnya dari asap rokok atau tidak, mereka di larang merokok. Dari sini sudah terlihat kerancuan, apalagi di tambah untuk membedakan mana santri yang pendidikannnya masih bangku MTs dan MA.

Kalau pesantren serius ingin memberantas rokok, seharusnya penegak hukum pesantren tidak memilah milih santri yang boleh merokok atau tidak. Kalau dirinya masih merasa punya identitas santri secara tegas dilarang merokok, baik santri yunior atau yang sudah senior. Secara otomatis penegak ketertiban dan keamanan lebih mudah dalam mengontrol santri yang melanggar hukum karena semua santri haram hukumnya merokok. Dan tidak jarang santri yang di larang merokok di kader oleh santri yang lebih senior secara umur untuk mencicipi rokok sehingga kecanduan.

Kedua, sanksi yang diberikan pengurus tidak membuat santri jera dan ada nilai humanis-edukatif. Saat saya melihat santri yang dijerat hukum, mereka hanya berdiri tanpa ada sanksi lain yang bisa membuat mereka jera dan bersifat edukatif. Kalau mereka hanya diberi sanksi seperti itu tidak menutup kemungkinan kelak santri yang akan terjerat hukum karena merokok lebih banyak lagi.

Kalau boleh bermimpi, seandainya UUP memberi sanksi yang membuat mereka jera dan ada nilai humanis-edukatif, insyaallah tidak akan ada lagi santri yang melenggar hukum tersebut, semisal dengan diberi pemahaman tentang bahaya rokok untuk tahap awal, di suruh menghatamkan Al Qur'an sebagai tebusan dari dosanya, diperintahkan menghafalkan tahlil bagi yang belum hafal, mereka bisa diberi sanksi menghafalkan qaidah Alfiyah Ibnu Malik sebanyak 30 bait dan bagi pondok pesantren seperti PP. Annuqayah Latee bisa di beri sanksi menghafalkan buku Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah Amaliyah (SKIA). Ketimbang mereka hanya diberdirikan yang tidak membawa dampak dan manfaat apa-apa, setidanya kalau mereka tidak jera dan berhenti merokok, mereka bisa menghatamkan Al Qur'an, menghafalkan 30 bait Qaidah alfiyah, hafal tahlil dan atau menghafalkan SKIA.

Ketiga, UUP bersebrangan dengan toko pesantren. Karena pengurus memilah-milih santri yang boleh merokok dan yang tidak, maka kantin yang membiayai pesantren tetap menjual rokok. Seandainya kantin pesantren tidak menjual rokok, maka secara otomatis santri tidak akan melanggar hukum tersebut karena kantin tempat belanja santri tidak menyediakan rokok. Kalau kantin pesantren seperti itu, secara tidak langsung pesantren menjual hal-hal yang dilarang dalam pesantren.

Kasus ini salah satu dari sekian deretan kasus yang sering terjadi di pondok pesantren. Dan kasus semacam ini terbilang kasus “teri”, artinya kasus-kasus seperti ini kasus yang terkecil dalam kehidupan pesantren. Pelanggar hukum yang sudah kelas “senior” bisa di jerat sanksi sampai di plontos bahkan di pulangkan dari pondok pesantren.

Tulisan saudara Khairul Anam dengan judul Pendidikan Tegas di Pesantren (28/01), tidak sepenuhnya bisa di benarkan, karena jika pengurus menghukum santri tetap menggunakan metode kekerasan seperti kasus hukuman di atas, santri tidak akan pernah jera. Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tidak akan pernah mampu mendewasakan santri dengan wawasan khazanah intelektual santri yang sering terjerat hukum sehingga mereka sadar dan tidak melanggar hukum lagi.

Pesantren selama ini terkesan penuh dengan kekerasan, saat orang luar melihat pesantren seperti itu, aksi-aksi kekerasan seperti pengeboman dan pembakaran tempat yang kontroversial, maka alamat pertama ditujukan kepada orang pesantren, sehingga pesantren terkesan pencetak terorisme.

Pesantren sudah saatnya sadar diri, sanksi-sanksi hukum peninggalan terdahulu yang tidak mendidik sudah saatnya diamandemin, karena selain zaman mereka yang membuat UUP berbeda dengan keadaan santri sekarang, hal itu juga tidak akan pernah membuat santri yang sering keluar masuk Kamtibsan sadar, malah mereka akan sebaliknya; semakin memberontak, istlah madura “tepa' se e soro”. Pesantren sudah saatnya menerapkan pendidkan humanis. UUP pesantren yang tidak mengandung nilai-nilai pendidikan sudah saatnya untuk dipertimbangkan dan didiskusiakn kembali. Santri sudah bosan dengan sanksi pesantren yang tidak mendidik, sehingga mereka tidak akan pernah jera malah akan sebaliknya dengan membuat ulah yang lebih besar lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar