Sabtu, 06 Februari 2010

Unas dan Kantin Kejujuran dalam Memcetak Siswa Ideal


O l e h : M. Kamil Akhyari

Pemerintah mengalami kesulitan dalam mengukur sukses tidaknya siswa selama di bangku sekolah. Semula Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) menginginkan Ujian Nasional (Unas) bukan sebagai standart kelulusan. Apakah Unas tidak dipercaya lagi dijadikan sandaran dalam menentukan sukses tidaknya proses belajar mengajar selama tiga tahun atau ingin menghapusnya? Tapi setelah rapat terbatas (07/01) dengan Mendiknas, Mohammad Nuh, akhirnya SBY memutuskan akan melaksanakan Unas pada 2010 ini (Jawa Pos, 08/01).
Presiden semula ingin menerapkan cara lain untuk mengukur sejauh mana pemanahan peserta didik terhadap materi yang dipandang sangat fital selain dengan metode Unas, karena Unas yang semestinya menjadi baromenet sukses tidaknya guru dalam mentransformasikan pengetahuan kepada siswa selama menempuh pendidikan, tidak membawa dampak sebagaimana yang diharapkan dalam mengukur sukses tidaknya sebuah lembaga pendidikan. Malah Unas menjadi virus moralitas pelajar. Mengapa demikian? karena Unas sebagai alat ukur sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan menyimpang dari dasar pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang pada dasarnya memanusiakan manusia (humanizing of human being), justru dengan Unas pihak sekolah/ guru tidak lagi mendewasakan peserta didik. Kebohongan yang bukan milik manusia harus dilakukan untuk mendongkrak nilai siswa.
Karena presiden dan Mendikanas tidak mendapatkan metode lain yang bisa diterapkan selain dengan Unas, akhirnya presiden -sekalipun berbeda dengan pernyataan semula- tetap akan menggelar Unas pada tahun 2010 ini, dengan dalih akan memperbaiki celah-celah yang terjadi pada Unas tahun sebelumnya. Salah satu bentuk perbaikan celah Unas sebelumnya, akan membubarkan budaya bocoran soal tersebut, karena Unas bukan lagi dijadikan satu-satunya penentu kelulusan, melainkan sebagai pendukung dari beberapa komponin yang harus dipenuhi untuk mencapai kelulusan. Yaitu, menyelesaikan seluruh program sekolah, berakhlaqul karimah, lulus ujian sekolah dan ujian nasional. (Jawa Pos, 08/01). Sehingga sekalipun nilai Unas tinggi tapi tidak memenuhi syarat yang lain tetap tidak akan lulus.
Pertanyaanya sekarang, berhasilkah cara ini untuk membasmi kebohongan (pembocoran kunci jawaban) sekalipun harus memenuhi pernyaratan yang lain untuk memperoleh ijazah? Karena tiga komponin lainnya (menyelesaikan seluruh program sekolah, berakhlaqul karimah dan lulus ujian sekolah) sangat mudah untuk mencapai kelulusan, sekalipun tidak mencapai targen batas minimal yang di tentukan pemerintah. Karena tiga syarat pertama tersebut yang memberi penilaian pihak sekolah, dan pihak sekolah tidak akan rela melihat calon alumninya tidak lulus karena terganjal di seleksi pelulusan yang ditentuan pihak sekolah sendiri, secara otomatis pihak sekolah akan mempoles nilainya untuk bisa lulus.
Di lain pihak, Unas yang sudah bertahun-tahun berjalan tidak membawa dampak yang begitu signifikan dalam mengukur sukses tidaknya siswa, malah hanya dijadikan ajang untuk makan uang negara “berkah” ujian nasional. (Ma'af) Tidak sedikit dari orang-orang/ lembaga-lembaga yang tamak lembaganya dijadikan “bisnis” untuk mendapatkan uang, Unas dijadikan ajang untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin. Bayangkan belanja negara untuk Unas 2010 165 Miliyar.
Kantin Keejujuran
Kalau kita amati, sepertinya langkah Menteri Pendidikan Nasional dalam mencetak siswa ideal bersebrangan dengan langkah yang di lakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mendiknas bersikukuh akan menggelar Unas, sekalipun terbukti penuh dengan misteri. Sementara KPK bermaksud mendirikan kantin kejujuran dalam rangka mendidik pelajar untuk terbiasa dengan kejujuran mulai masa kanak-kanak (belajar).
Gubernur Jawa Timur, Dr. Suekarwo, M. Hum, merespon positif keinginan KPK tersebut untuk mendirikan kantin kejujuran. Terbukti dengan akan dibangunnya kantik kejujuran disetiap kota/ kabupaten se-Jawa Timur dengan dana yang telah dipersiapkan.
Dalam rangka langkah awal membasmi budaya korupsi dan mendukung KPK dalam upaya mendirikan kantin kejujuran, tahun 2010 ini ujian nasional sudah saatnya tidak digelar lagi, karena aspek negatif lebih besar dari positifnya. Unas hanya membuat negeri ini semakin terpuruk, dengan alokasi biaya yang besar untuk pelaksanaan ujian nasional.
Kalau memang ingin melihat sejauh mana kepekaan siswa terhadap mata pelajaran yang telah diterima, pemerintah bisa menerapkan metode prektek langsung ke lapangan sebagai ganti Unas. Dengan menyentuh langsung perangkat lunak materi yang di anggap penting, selain sebagai pemantapan dari materi yang telah dipelajari dalam kelas, setidaknya bisa mengurangi kebohongan kalau tidak bisa menghapusnya, karena metode ini tidak bisa di poles dengan kebohongan sebagaimana Unas, dan hasilnya akan lebih jelas ketimbang Unas. Insya Allah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar