Oleh : M. Kamil Akhyari
Seluruh warga nahdliyin telah mengetahui dan sepakat, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan yang menganut faham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), yang diterjemahkan dengan mengikuti madzhab Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal dalam ibadah amaliyah (baca:fiqih). Dan mengikuti faham Imam Asy’ari dalam tauhid/ teologi. Serta mengikuti Tarekat Imam Al Ghazali dan Al Maturidi dalam tasawuf.
Dari tiga aliran yang melekat pada diri Asjawa, Said Aqil Siraj mencoba mencari jawaban siapakah sebenarnya orang yang dikatakan penganut faham Aswaja? Menurutnya, orang yang menganut faham Aswaja adalah setiap orang yang berfikir mencakup segala bidang keagamaan yang berlandaskan pada ta’adul (keadilan), tasamuh (toleransi), tawasut (moderat) dan tawazun (keseimbangan).
Dari pernyataan Said Aqil Siraj ini dapat ditarik benang merah, NU yang berlandaskan pada faham Aswaja adalah oganisasi sosial keagamaan yang berlandaskan pada keadilan, tolerasi, moderat dan keseimbangan. Yang perlu kita pertanyakan kembali saat ini, sejak NU dideklarasikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M sampai tahun 2010 dan sebentar lagi akan menggelar muktamar ke-32 ini, NU saat ini masihkah menjalankan ruh yang terkandung dalam Aswaja seperti masa awal berdirinya, sehingga pantas menyandang gelar penganut faham Aswaja.
NU Saat ini
Salah satu landasan pijakan NU adalah tawasut (moderat), artinya tidak condong kepada konservatif dan tidak liberal. NU mengambil poros tengah dengan memadukan islam kiri dan kanan, sesuia dengan kaidah Ushul Fiqih khairul umur ausatuha (Sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah-tengah).
Negeri kita tercinta, Indonesia yang terdiri dari beragam agama dan keyakinan, saat ini dipaksa untuk seragam dalam memeluk agama dan berkeyakinan, dengan desakan dari beberapa Ormas yang bernuansa keagamaan, pemerintah berani mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dan Peraturan Daerah (Perda) tentang penyeragaman keagamaan karena terus mendapatkan desakan.
Sekedar menyegarkan ingatan kita kembali peristiwa yang terjadi di Jawa Timur, Kabupaten Jombang berani mengeluarkan Raperda bermasalah tentang prostitusi yang disahkan oleh DPRD dari salah satu partai politik karena di desak oleh Pengurus Cabang (PC) NU dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) setempat (Syahadah, Edisi 1 Agustus 2009).
Prostitusi memang sangat bahaya terhadap anak muda dan pelajar NU, tapi apakah harus dengan mengeluarkan Raperda untuk memberantas diskriminasi dan free sex, sehingga agama lain yang tidak ada masalah dengan prostitusi harus mendapatkan sanksi yang sama karena penyeragaman undang-undang yang merugikan salah satu warga negara.
Pengurus Cabang NU Bangkalan mengusulkan pewajiban jilbab bagi guru dan siswa perempuan, dan permohonan ini diamini oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkalan dengan mengeluarkan Raperda pewajiban jilbab bagi guru dan siswa perempuan, pada Selasa, 7 Juli 2009 (Syahadah, Edisi 1 Agustus 2009). Tawasut yang menjadi pijakan waga nahdliyin dimanakah diletakkan, dimana letak ke-moderat-an NU terhadap orang yang beda keyakinan dan agama jika harus menjalankan perundang-undangan berdasakan islam.
Pamekasan adalah kota yang terkenal dengan jargon “Gerbang Salam”. Pemerintah Kabupaten Pamekasan mengeluarkan Surat Edaran Bupati (SEB) No. 450 Tahun 2002, tentang pewajiban jilbab kepada seluruh karyawan pemerintah setelah mendapatkan desakan dari warga nahdliyin dan santri basis NU (Syahadah, Edisi 1 Agustus 2009). Jargon “Gerbang Keselamatan” dimana diletakkan terhadap orang yang beda agama yang satu kantor jika harus menerima khitab (pemberlakuan hukum) yang sama, apakah masih pantas menyandang jargon “Gerbang Keselamatan”.
NU Esok
Menjelang Muktamar 32 di Makasar, banyak harapan-harapan yang dilontarkan oleh warna nahdliyin, mulai dari warga nahdliyin pedesaan sampai warna nahdliyin masyarakat kota. Mereka saat ini cemas dengan langkah-langkah yang dilakukan NU, karena hanya merespon hal-hal yang terlalu dini untuk dilakukan ormas terbesar di indonesia ini.
Perlu kita hayati bersama perkataan Azyumardi Azra pada diskusi “NU Pasca Gus Dur” yang diselenggarakan oleh Kompas. Menurutnya, pasca Gus Dur, NU harus tetap sebagai jalan tengah (Kompas, 23/2). Artinya bagaimana ke-NU-an kita ada ditengah-tengah, tanpa harus merugikan salah satu pihak karena demi kenyamanan kita sendiri, sehingga harus merugikan bahkan menyakitkan orang lain.
Memakusi detik-detik Muktamar NU, ke-aswaja-an NU perlu menjadi perbincangan yang serius pada muktamar nanti, sehingga terpilih dan tampil warga nahdliyin yang faham betul tentang Aswaja dan NU sebagai Ketua PBNU masa yang akan datang. Dengan tampilnya Ketua PBNU yang “tahu” Aswaja dan NU, diharapkan esok hari NU bisa membaca kebutuhan warganhya. Warga nahdliyin butuh pendidikan yang memadai dan meningkatkan perekonomian, NU tidak mencari jalan keluarnya, malah hanya sering memprodak hukum dan mendesak pemerintah untuk mengeluarkan raperda yang kurang penting.
Dari hanya sekedar terus mendorong pemerintah untuk senantiasa mengeluarkan Perda-raperda yang tidak terlalu urgen seperti diatas, sepantasnyalah NU berbuat yang lebih bermanfaat untuk warganya, seperti terorosme. Terorisme yang terus mengakar bukan hanya tanggung jawab Densus 88, tapi juga tanggung jawab NU sebagai organisasi keagamaan. Bagaimana NU bisa meluruskan mengamalan keagamaan mereka yang berangkat dari pemahaman yang sempit, tanpa pelurusan keagamaan, teroris yang terus diincar densus 88 akan hanya membuat negeri kita tercinta ini semakin kacau. Sederetan nama terosis yang telah berhasil diringkus Densus 88 tidak akan membuat efek jera kepada pengikutnya tanpa memberantas akar dan calon-calon teroris yang telah terhipnotis oleh pemahaman mereka dari ormas keagamaan seperti NU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar