Warga nahdliyin mayoritas orang kampung sehingga Nahdlatul Ulama (NU) dikenal organisasi sosial keagamaan masyarakat pedesaan yang populer dengan budaya tahlilan, istigasah, dan bahtsul masail. Walau demikian, pelajarnya jangan dikonotasikan hanya diajarkan dan bisa tahlil, istigasah, dan bahtsul masail.
Di penghujung tahun 2009 pelajar dan santri NU yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) ngaji jurnalistik alias dilatih menjadi jurnalis. Sekalipun peserta pelatihan adalah pelajar kampung dan santri dari seluruh kabupaten se-Jawa Timur bukan lantas menghadirkan sembarangan trainer dan tidak menggunakan peralatan era digital saat ini. Pasalnya, yang melatih adalah wartawan Kompas dan setiap peserta membawa laptop.
Hal ini tidak lepas dari sumbangsih PW IPNU-IPPNU Jawa Timur selaku penyelenggara dan kontribusi Kompas selaku pihak yang telah sudi membimbing pelajar dan santri NU untuk mentransformasikan pengetahuan dan mengalamannya dalam bidang jurnalistik.
Memasuki hari pertama materi pelatihan jurnalistik kami bosan karena yang diajarkan itu-itu saja yang telah kami ketahui sejak di rumah, “5W+1H”, yang selalu diulang-ulang. Dari rumah kami membayangkan penyampaiannya pasti beda dengan yang kami telah dapatkan di pelatihan jurnalistik sebelumnya karena trainer-nya wartawan Kompas, siapa yang tidak tahu dengan koran Kompas.
Karena yang disampaikan sama dengan yang telah saya dapatkan sebelumnya, sekalipun kurang pengalaman di bidang jurnalistik, pada hari kedua kami berpikir kalau cuma seperti itu (hafal dan paham 5W+1H) menjadi jurnalis gampang dan sangat mudah.
Pada hari ketiga kami baru merasakan susahnya menjadi jurnalis, setelah kami disuruh turun ke lapangan untuk reportase dengan dibekali kamera dan kartu pers. Pelatihan jurnalistik yang sudah berkali-kali diikuti sepertinya tidak ada manfaatnya. Kami tidak tahu harus melangkah ke mana untuk mendapatkan berita. Itulah yang dialami kami, peserta jurnalistik di PP Salafiah Syafi’iyah, Seblak, Diwek, Jombang (29/11/2009) dan PP Nurul Jadid, Paiton, Proboliggo (13/12/2009) ketika panitia memerintahkan bahwa pukul 24:00 koran mini masing-masing kelompok harus terbit dan sekarang (pukul 08:00) dipersilakan untuk mencari berita.
Sekalipun telah paham dan hafal betul “5W+1H”, ketika terjun ke lapangan untuk reportase peserta masih mengalami kesulitan untuk memulai reportase dari mana. Ditambah lagi dengan kurang percaya diri dan terperangkap dengan peristiwa yang akan diliput, takut tidak menarik sebagai salah satu unsur berita.
Yang menarik dari pelatihan, peserta bukan hanya diajarkan untuk reportase dengan diterjunkan langsung ke lapangan dan hasil reportasenya dibedah oleh trainer. Lebih dari itu kami dituntut untuk kerja sama karena dari tiap kelompok yang terdiri dari lima orang, di antara kami punya tanggung jawab tambahan untuk menerbitkan “koran” selain reportase ke lapangan, seperti ada yang bertanggung jawab menjabat pimpinan redaksi, redaktur pelaksana, reporter, koordinator liputan dan lay outer. Yang lebih menarik lagi, selain menghasilkan berita yang bermutu, kami dituntut untuk memikat pembaca dengan desain dan lay out yang dapat membantu menggugah hati pembaca.
Berkat jerih payah-sampai tidak tidur semalaman sekalipun lewat dari batas deadline, kami berhasil menghasilkan koran mini dengan desain yang lumayan bagus.
Sampai TV
Satu bulan yang lalu (09-11/04), kami mengikuti pengajian jurnalistik lagi di PP Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Bedanya dengan pengajian sebelumnya, saat ini lebih rumit dan sulit karena dilatih menjadi reporter televisi.
Hal itu kami rasakan ketika turun lapangan. Sebelum diturunkan ke lapangan kami tidak merasa kesulitan sama sekali karena bayangan kami tidak ada bedanya dengan pengalaman reportase sebelumnya. Lagian kami sudah punya bekal dan pengalaman turun lapangan di pelatihan Kompas. Sekalipun telah punya bekal turun di lapangan untuk reportase, kesulitan terulang kembali ketika reportase dengan dibekali handycam dan kartu pengenal oleh panitia pelatihan jurnalistik televisi 2010.
Bedanya, kesulitan yang dialami saat itu bukan mau dimulai dari mana dan berita apa yang harus diliput, tapi gambar apa saja yang harus tersorot kamera untuk menyesuaikannya dengan isi berita. Sebab, selain diharapkan menghasilkan liputan yang sesuai dengan kaidah jurnalsitik, juga dituntut untuk menghasilkan gambar video yang baik.
Berkat bimbingan dan kritik saran wartawan TV9 atas berita yang kami dapatkan, dan PW IPNU-IPPNU Jatim selaku penyelenggara dan “bapak ibu” kami selama di pelatihan, kami bisa menghasilkan satu tayangan berita TV dan punya wawasan untuk menjadi reporter televisi.
RTL jurnalistik Kompas mendirikan blog www.jurnalismudanu.blogspot.com, tapi kali ini tidak ada RTL, usai acara peserta langsung pulang ke daerah masing-masing. Menariknya dari pelatihan ini, sekalipun tidak ada RTL dari panitia, kabarnya dari 30 peserta yang hadir semuanya akan diundang TV9 dan di jadikan reporter di daerahnya masing masing. Kompas, TV9, dan PW IPNU-IPPNU Jatim, terima kasih ilmunya dan mohom doa restu semoga kami jadi jurnalis yang profesional. Amin…
Di penghujung tahun 2009 pelajar dan santri NU yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) ngaji jurnalistik alias dilatih menjadi jurnalis. Sekalipun peserta pelatihan adalah pelajar kampung dan santri dari seluruh kabupaten se-Jawa Timur bukan lantas menghadirkan sembarangan trainer dan tidak menggunakan peralatan era digital saat ini. Pasalnya, yang melatih adalah wartawan Kompas dan setiap peserta membawa laptop.
Hal ini tidak lepas dari sumbangsih PW IPNU-IPPNU Jawa Timur selaku penyelenggara dan kontribusi Kompas selaku pihak yang telah sudi membimbing pelajar dan santri NU untuk mentransformasikan pengetahuan dan mengalamannya dalam bidang jurnalistik.
Memasuki hari pertama materi pelatihan jurnalistik kami bosan karena yang diajarkan itu-itu saja yang telah kami ketahui sejak di rumah, “5W+1H”, yang selalu diulang-ulang. Dari rumah kami membayangkan penyampaiannya pasti beda dengan yang kami telah dapatkan di pelatihan jurnalistik sebelumnya karena trainer-nya wartawan Kompas, siapa yang tidak tahu dengan koran Kompas.
Karena yang disampaikan sama dengan yang telah saya dapatkan sebelumnya, sekalipun kurang pengalaman di bidang jurnalistik, pada hari kedua kami berpikir kalau cuma seperti itu (hafal dan paham 5W+1H) menjadi jurnalis gampang dan sangat mudah.
Pada hari ketiga kami baru merasakan susahnya menjadi jurnalis, setelah kami disuruh turun ke lapangan untuk reportase dengan dibekali kamera dan kartu pers. Pelatihan jurnalistik yang sudah berkali-kali diikuti sepertinya tidak ada manfaatnya. Kami tidak tahu harus melangkah ke mana untuk mendapatkan berita. Itulah yang dialami kami, peserta jurnalistik di PP Salafiah Syafi’iyah, Seblak, Diwek, Jombang (29/11/2009) dan PP Nurul Jadid, Paiton, Proboliggo (13/12/2009) ketika panitia memerintahkan bahwa pukul 24:00 koran mini masing-masing kelompok harus terbit dan sekarang (pukul 08:00) dipersilakan untuk mencari berita.
Sekalipun telah paham dan hafal betul “5W+1H”, ketika terjun ke lapangan untuk reportase peserta masih mengalami kesulitan untuk memulai reportase dari mana. Ditambah lagi dengan kurang percaya diri dan terperangkap dengan peristiwa yang akan diliput, takut tidak menarik sebagai salah satu unsur berita.
Yang menarik dari pelatihan, peserta bukan hanya diajarkan untuk reportase dengan diterjunkan langsung ke lapangan dan hasil reportasenya dibedah oleh trainer. Lebih dari itu kami dituntut untuk kerja sama karena dari tiap kelompok yang terdiri dari lima orang, di antara kami punya tanggung jawab tambahan untuk menerbitkan “koran” selain reportase ke lapangan, seperti ada yang bertanggung jawab menjabat pimpinan redaksi, redaktur pelaksana, reporter, koordinator liputan dan lay outer. Yang lebih menarik lagi, selain menghasilkan berita yang bermutu, kami dituntut untuk memikat pembaca dengan desain dan lay out yang dapat membantu menggugah hati pembaca.
Berkat jerih payah-sampai tidak tidur semalaman sekalipun lewat dari batas deadline, kami berhasil menghasilkan koran mini dengan desain yang lumayan bagus.
Sampai TV
Satu bulan yang lalu (09-11/04), kami mengikuti pengajian jurnalistik lagi di PP Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Bedanya dengan pengajian sebelumnya, saat ini lebih rumit dan sulit karena dilatih menjadi reporter televisi.
Hal itu kami rasakan ketika turun lapangan. Sebelum diturunkan ke lapangan kami tidak merasa kesulitan sama sekali karena bayangan kami tidak ada bedanya dengan pengalaman reportase sebelumnya. Lagian kami sudah punya bekal dan pengalaman turun lapangan di pelatihan Kompas. Sekalipun telah punya bekal turun di lapangan untuk reportase, kesulitan terulang kembali ketika reportase dengan dibekali handycam dan kartu pengenal oleh panitia pelatihan jurnalistik televisi 2010.
Bedanya, kesulitan yang dialami saat itu bukan mau dimulai dari mana dan berita apa yang harus diliput, tapi gambar apa saja yang harus tersorot kamera untuk menyesuaikannya dengan isi berita. Sebab, selain diharapkan menghasilkan liputan yang sesuai dengan kaidah jurnalsitik, juga dituntut untuk menghasilkan gambar video yang baik.
Berkat bimbingan dan kritik saran wartawan TV9 atas berita yang kami dapatkan, dan PW IPNU-IPPNU Jatim selaku penyelenggara dan “bapak ibu” kami selama di pelatihan, kami bisa menghasilkan satu tayangan berita TV dan punya wawasan untuk menjadi reporter televisi.
RTL jurnalistik Kompas mendirikan blog www.jurnalismudanu.blogspot.com, tapi kali ini tidak ada RTL, usai acara peserta langsung pulang ke daerah masing-masing. Menariknya dari pelatihan ini, sekalipun tidak ada RTL dari panitia, kabarnya dari 30 peserta yang hadir semuanya akan diundang TV9 dan di jadikan reporter di daerahnya masing masing. Kompas, TV9, dan PW IPNU-IPPNU Jatim, terima kasih ilmunya dan mohom doa restu semoga kami jadi jurnalis yang profesional. Amin…
“Forum Muda” Kompas Jatim, Sabtu 15 Mei 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar