Rabu, 03 November 2010

Belajar itu Ternyata Asyik


Judul : 3 Menit Membuat Anak Keranjingan Belajar
Penulis : Reza Rifanto
Penerbit : Gramedia Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 174 Halaman
Peresensi : M. Kamil Akhyari

Pepatah madura mengatakan, jika anak jatuh ke sumur orang tua langsung jebus, sedangkan jika orang tua yang jatuh sang anak masih ambil tangga. Artinya betapa tulus cinta orang tua jika dibandingkan sayangnya anak pada orang tua. Setiap orang tua (ortu) pasti cinta dan sayang pada putra putrinya, namun tidak sedikit anak mengartikan berbeda tindakan yang dilakukan ortu ketika hatinya merasa tersakiti sekalipun untuk kemaslahatan sang buah hati.
Tidak jarang, karena momongannya takut mengecewakan dan ingin melihat si buah hati menjadi orang yang selalu menyebit juara, orang tua harus marah-marah, mencubit bahkan memukul sebagai alternatif untuk merangsang buah hatinya belajar. Pukulan dan cubitan yang orang tua lakukan sebenarnya bentuk kasih sayang orang tua kepada anak, karena kelak takut jadi orang bodoh.
Tapi rangsangan yang dilakukan orang tua berupa pukulan dan cubitan tersebut tidak disadari sebagai bentuk cinta dan kasih sayang ortu oleh anak. Kalau kita berhadapan dengan anak yang sepoerti itu apakah harus memukul dan mencubit sebagai rangsangan?
Dra. Sari Yuanita dalam buku “Tips Membuat Anak Suka Belajar dan Berprestasi” menjelaskan, saat bayi berumur tiga bulan otaknya sudah membentuk koneksi dua kali lipat melebihi otak orang dewasa yaitu sekitar 1000 triliun koneksi. Hubungan tersebut akan semakin kuat terhadap pembentukan otak bayi apabila kejadian atau peristiwa yang memicu terbentuknya hubungan tersebut semakin sering terjadi.
Seorang bayi yang sejak kecil selalu dilatih berbicara, nantinya akan memiliki kemapuan berbahasa yang lebih baik dibandingkan dengan bayi yang dibiarkan begitu saja tidak diajak bicara. Seorang bayi yang selalu berintegrasi dengan orang dilingkungannya, nanti akan lebih mudah bersosialisasi.
Namun jika anak selalu di rangsang dengan cubitan dan pukulan untuk belajar, bisa kita bayangkan bagaimana karakternya kelak setelah dewasa. Bahkan mendidik anak dengan cara memukul dapat mengakibatkan perilaku agresif kalau ia berusia lima tahun ke atas (Media Indonesia, 14/04).

Menyulap TV jadi Buku
Coba kita renungkan, kenapa jika anak di suruh belajar harus kita bujuk bahkan harus mengeluarkan “vitamin C” alias di cubit, sementara kalau menonton televisi tanpa disuruh mereka asyik berjam-jam di depan TV, bahkan tanpa terasa sampai meneteskan air mata. Lalu bagaimana cara “menyulap” buku mengasyikkan laksana nonton TV?
Belajar adalah pekerjaan yang sangat membosankan, main karena yang beraktifitas otak dan bermain dengan logika, sementara menonton televisi, main Playstation (PS) dan kawan-kawannya yang bekerja adalah perasaan.
Alangkah harmonisnya sebuah keluarga jika orang tua mampu mengubah belajar yang sangat membosankan -bahkan harus membuat “naik darah”- di ubah dengan belajar adalah pekerjaan yang sangat menyenengkan sebagaimana menonton TV. Senja vital yang dibutuhkan: mengetuk emosi dan perasaan sang buah hati. Ketika orang tua mampu mengetuk emosinya cara lama (hardikan dan cubitan) yang biasa digunakan tidak perlu terulang kembali.
Selain menghindari kekerasan, dengan melalui pendekatan emosional orang tua akan lebih luas mendapatkan informasi tentang perkembangan putra putrinya, karena si buah hati akan lebih terbuka dan mudah menuangkan seluruh perasaannya ketika menghadapi sebuah problem.

Gaya Belajar
Ingat. Kekerasaan tidak pernah menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan masalah baru. Untuk merangsang si buah hati keranjingan belajar orang tua bukan lantas mengambil tindakan dengan kekerasan. Sebagai orang yang telah dewasa ortu dituntut kreatif dan peka terhadap perkembangan anak. Saat bayi baru lahir dan belum menginjakkan kaki di sekolah tugas orang tua bukan hanya mengantikan popok yang telah dibasahi kencing, memberikan ASI dan menlindungi dari gigitan nyamuk.
Selain menjaga fisik, yang tak kalah penting tugas ortu adalah mengamati perkembangan anak. Yang utama dari yang utama, pinjam istilah Reza Rifanto, untuk membuat anak keranjingan belajar adalah ortu mengetahui minat dan bakat si buah hati, dengan mengetahui minat dan bakat anak orang tua akan lebih mudah mengarahkan pelajaran yang harus ditekuni dan dipelajari lebih dalam untuk mencapai bakat dan minat tersebut menjadi ahli.
Jika si buah hati minat dan bakatnya cuma main PS, apakah ia akan dibiarkan main PS sementara teman-temannya sudah pada ngebut belajar? Ketika menghadapi anak yang bermintal mirip atau sama persis seperti anak tersebut ortu jangan sampai melarang bahkan mengharamkan main, tapi sibuah hati juga jangan dibiarkan hanya main PS sehingga pelajarannya ketinggalan. Orang tua harus mengambil jalan tengah, yaitu memanfaatkan apa yang ia senangi menjadi sarana untuk belajar, karena setiap anak mempunya ragam cara untuk belajar, salah satu cara membuat anak nakal menjadi rajin belajar adalah dengan memulai apa yang ia senangi (Hal 93).
Dengan bermula mengetahui minat dan bakat, gaya belajar, dan menyentuh hatinya, orang tua tidak perlu marah-marah, mengeluarkan “vitamin C” alis cubit dan atau memukulnya lagi untuk membuat anak keranjingan belajar.
***
Buku “3 Menit Membuat Anak Keranjingan Belajar” patut jadi bacaan kita bersama sebagai pendidik dan mengayom anak-anak kita, dan orang yang lebih tua dari dari adik-adik kita. Selain dengan bahasa yang mudah di cerna dan contoh langsung dari setiap kasus yang penulis rasakan sendiri dan alami dari kliennya, buku setebal 174 halaman itu sangat baik dibaca oleh setiap kalangan untuk menjaga “titipan Tuhan” itu menemukan cara belajar yang terbaik tanpa menggunakan kekerasan.
Selain menemukan metode terbaik untuk anak termotivasi belajar, dalam buku itu pembaca juga akan mendapat kiat-kiat untuk menjaga motivasi (konsisten belajar), karena anak tidak selamanya ceria, pada suatu saat si buah hati akan mengalami down dan malas belajar.
Sebagai karya manusia biasa tentunya tidak lepas dari yang namanya kekurangan. Buku tersebut lebih menitik beratkan untuk anak-anak tingkat SD dan SMP, sedangkan untuk pelajar remaja (SMA dan Perguruan Tinggi) kurang mendapatkan sentuhan, padahal problem yang dihadapi remaja lebih ruwet dari anak-anak. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar