Rabu, 03 November 2010

Gus Dur: Dari Seorang Santri ke Bapak Presiden


Judul Buku : Sejuta Hati untuk Gus Dur
Pengarang : Damien Dematra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 426 Halaman
Peresensi : M. Kamil Akhyari

Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid dinyatakan wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18:45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Wafatnya Gus Dur menyisakan tangis dan gelimang air mata. Semua orang merasa kehilangan dengan pulangnya KH Abdurrahman Wahid untuk selamanya. Semua umat manusia merasa punya hutang budi karena ia telah berhasil menorehkan tinta emas, mulai dari mengangkat citra pesantren, NU, sampai ketentraman umat rakyat bangsa yang majmuk ini dengan membingkai Islam dan Pancasila.
Orang-orang NU pada umumnya dan kaum santri pada khususnya punya hutang budi yang besar kepada KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur sebagai lulusan pesantren, tumbuh di pesantren, dan dibentuk oleh lingkungan pemikiran dan kebudayaan pesantren mampu mensejajarkan diri dengan orang luar pesantren.
Warga nahdliyin patut bangga karena telah menemukan juru bicara yang hebat dan bisa berbicara kepada publik tentang segala hal, dengan bahasa yang sangat modern tetapi tetap tidak terlepas dari nilai-nilai pesantren. Dunia pesanren dan NU menjadi terangkat ke pentas nasional bahkan kacah internasional dengan lahirnya Gus Dur.
Pada era 80-an mencari kaum sarungan yang akrab dengan dunia luar pesantren tidak mudah, santri hanya piawai dengan literatur arab (kitab kuning) sebagai rujukan dan ciri khas pesantren, dan buta terhadap yang lain. Gus Dur mencoba mengangkat “pangkat” pesantren dengan ketajaman penanya dalam tulis menulis. Ia mampu mengharumkan nama pesantren dengan menulis di koran nasional, sebuah dunia yang jarang diminati kaum sarungan pada saat itu.
Sebagian kelompok menyayangkan dengan pikiran dan sikap Gus Dur yang terlalu global dan terbuka. Ide pluralismenya mendapatkan kecaman dari kelompok tertentu karena khawatir merugikan umat islam. Sekalipun Gus Dur jarang mengutip ayat Al Qur’an ketika bicara, tapi para ulama dan mereka yang tergolong kelompok garis keras (yang menentang ide pluralisme) segan berdiskusi dengan Gus Dur, karena ia mampu menguasai khazanah keislaman klasik dan modern sangat dalam dan luas.
Gus Dur sebagai seorang santri mampu memadukan jargon al-muhafaza ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah. Pada era 50-an selain Gus Dur ngaji kitab Kafrawi, Alfiyah, Taqrib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Kifayatul Akhyar, Akidatul Awam, Ummul Barahin, Jalalain, Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab lain yang jadi refrensi kaum pesantren, di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, ia sudah melahap Buku La Potre karya Andre Gide (Bapak Sastra Prancis modern), For Whom the Bell Tolls karya Ernest Hemingway, Das Kapital karya Karl Marx, dan Romantisme Revolusioner karya Lenin Vladimin Illich (Halaman:158).

Sampai Presiden
Bangsa ini kaya raya, baik dari segi SDM maupun dari segi SDAnya. Indonesia memiliki ribuan intektual, ratusan jendral, dan puluhan ribu politisi, dan teknokrat, tapi Gus Dur seorang santri yang kesehatan fisiknya selalu dijangkiti penyakit terpilih sebagai orang nomor satu di bangsa ini. Ia terpilih sebagai Bapak Presiden setelah Soeharto tumbang dari tampuk kepemimpinannya. Bagaimana jadinya jika seorang santri jadi Presiden?
Sekalipun berangkat dari pendidikan pesantren, Gus Dur banyak membuat terobosan baru setelah rakyat di “penjara” selama 32 tahun oleh Soeharto, dengan enteng Gus Dur menghapus Menteri Penerangan dan Menteri Sosial. Ia berhasil membuka kran kebebasan pers sampai saat ini.
Gus Dur adalah seorang pemimpin yang ekstrim, berani, dan kontroversial. Ia tidak tanggung-tanggung menyuarakan aspirasi rakyat. Keberaniannya rela menjatuhkan dirinya dari istana negara. Pada bulan Juli 2001 ia diberhentikan oleh Sidang Istimewa MPR RI.
***
Buku “Sejuta Hati untuk Gus Dur” setebal 426 halaman ini tidak mungkin mengulas tuntas sepak terjang perjuangan Guru Bangsa yang telah berlumuran keringat dan darah untuk mengembalikan kesejahteraan rakyat kecil yang selalu di pojokkan.
Ini adalah sekelumit cerita dari kisah perjuangan seorang Santri, Bapak Presiden, dan Manusia ngelenih yang di tulis oleh Damien Dematra untuk mengenang seorang santri yang pernah tinggal di gotha’an (kamar pondok) di desa terpencil sampai tinggal di Istana Negara yang megah dan selalu di kawal polisi.
Terlepas dari kekurangan sebagai karya manusia, buku ini bisa menjadi “wahyu” dan inspirasi terhadap teman-teman mahasiswa, aktivis, organisasi pergerakan, dan semua umat manusia yang sedang dilanda resah dan gelisah untuk tidak pernah putus asa dan tidak kendor menyuaraan yang benar harus dibela dan yang salah harus di tumbangkan. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar