Oleh : M. Kamil Akhyari
Pesantren (berasal dari bahasa arab funduq : hotel, asrama) adalah lembaga pendidikan tertua di negeri ini. Jauh sebelum negeri ini bernama Indonesia, pesantren telah hadir ditengah-tengah masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan tertua tentunya kaya dengan pengalaman, sekalipun tidak selamanya pengalaman yang mengesankan. Pengalaman pesantren dari masa kemasa tidak selamanya mengelokkan.Sampai saat ini siapakah orang yang mendirikan pesantren pertama kali masih menjadi perdebatan, ada yang menganggap pendiri pertama adalah Maulana Malik Ibrahim (ayah Sunan Ampel), tapi ada pula yang berpendapat bahwa pendiri pesantren pertama kali adalah Sunan Ampel. Terlepas dari perdebatan siapakah yang pertama kali mendirikan, yang jelas pesantren muncul seiring dengan masuknya agama islam di negeri ini. Para walisongo-lah yang membawa gagasan pesantren ke tanah air ini. Melalui perjuangan walisongo untuk menyebar luaskan agama islam di indonesia pesantren sampai saat ini tetap eksis di tengah-tengah masyarakat.
Periode pertama pesantren hanya fokus kepada penyebaran agama islam sekalipun dengan pendekatan yang beragam. Periode ini pesantren berjuang melawan aminisme dan dimanisme. Taruhlah misalnya perjuangan Sunan Kalijaga dengan melalui pendekatan budaya lokal. Dakwah yang dikakukan Sunan kalijaga melalui seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah, dan pendekatan melalui budaya lokal dampaknya sangat efektif terhadap islamisasi Jawa.
Periode berikutnya pesantren berhadapan dengan penguasa yang akan merebut bangsa ini. Sekitar tahun 1900-an muncul santri-santri yang sangat keras menolak penjajahan. Untuk menyatukan rakyat bangsa ini melawan penjajahan Belanda, lahirlah organisasi-organisasi keagamaan yang didirikan oleh kaum pesantren, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh KH. Hasyim Asyari, Sarekat Islam (SI) yang didirikan oleh Hos Cokroaminoto, Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan.
Perlawanan kaum sarungan melawan penjajah membuahkan hasil. Sejak Belanda mencabut resolusi yang membatasi jamaah haji pada akhir abad ke-19, jumlah jamaah haji membludak. Sesampainya di tanah suci jamaah haji bukan hanya mekakukan ritual haji, selain niat haji mereka juga menuntut ilmu, dan sesampainya di tanah kelahiran mereka mengembangkan ilmunya.
Pada masa inilah sederetan nama ulama populer dengan ilmu pengetahuan kelas internasional lahir, taruhlah mislanya Syekh Nawawi Al Bantani (Banten), Syeikh Ahmad khatib As Sambasi (Kalimantan Barat), Syeikh Mahfud At Tarmisi (Jawa Tengah).
Setelah bangsa ini berhasil mengalahkan Belanda, rakyat menghirup udara segar kemerdekaan, 17 Agustus 1945 bangsa ini dinyatakan merdeka. Tapi pesantren tetap saja tidak menghirup udara segar sekalipun telah merdeka, pada saat itu pesantren berhadapan dengan kaum komunis, bersama TNI kaum pesantren berhasil memberagus kaum komunis dan ratusan ribu jiwa kaum komunis melayang.
Soekarno turut dari tampuk kepemimpinannya, tampil Soeharto sebagai presiden kedua. Pada masa Soeharto pesantren masih saja dikambing hitamkan, orang-orang pesantren di kelas nomor duakan, alumni pesantren tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena karena manusia kelas dua.
Di era milenium ini pesantren mampu mensejajarkan diri dengan alumni non pesantren. Gus Dur mencoba mengangkat “pangkat” pesantren ke kancah nasional bahkan internasional. Soehartu tumbang dari tampuk kepemimpinanya setelah 32 tahun berkuasa, Gus Dur terpilih sebagai orang nomor satu di negeri ini. Lulusan pesantren, tumbuh di pesantren, dan dibentuk oleh lingkungan pemikiran dan kebudayaan pesantren bisa tinggal diistana negara.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, ciri khas pesantren mulai luntur karena tidak pernah menfilter prodak-prodak teknologi yang notabenenya datang dari barat. Jargon al-muhafaza ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah dikerjakan secara parsial. Tidak sedikit kaum sarungan saat ini hanya wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah dengan belajar teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK), sementara kitab kuning yang menjadi ciri khas pesantren (al-qadim al-shalih) mulai luntur diganti dengan buku. Bukan hal yang unik jika kita menjumpai santri lebih senang facebookan, twitteran ketimbang ngaji kitab, jejaring sosial lebih populer dari Alfiyah.
Penulis tidak bermaksud cuek dan mengharamkan santri belajar teknologi, ketertarikan mereka terhadap dunia luar justru harus diapresiasi. Tapi sebagai seorang santri, ciri khas yang membedakan pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain tidak boleh luntur apalagi sampai hilang, selain tidak gagap teknologi juga tidak boleh gagap baca kitab. Jadilah manusia yang berhati Ka’bah dan berotak Jepang. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar