Rabu, 29 Desember 2010

Melestarikan Warisan Nenek Moyang

Oleh : M. Kamil Akhyari

Penulis sangat tercengang ketika mampir ke salah satu Sekolah Dasar swasta di salah satu empat Kabupaten di pulau Madura beberapa tahun yang lalu. Ruang kelas yang tidak berderetan karena lokasi yang agak sempit di sulap menjadi lokasi “laboratorium” bahasa secara terbuka. Dari enam kelas yang ada setidaknya terlihat tiga areal (laboratorium) bahasa yang berbeda, yaitu areal bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia.
Tanpa harus memetakan dan tanya langsung kepada masing-masing siswa bahasa apa yang ia senangi, dengan sendirinya mereka terlihat senangnya bahasa apa. Yang sering berada di areal bahasa arab tentu faforitnya bahasa arab karena ketika ada di lokasi tersebut tidak boleh berkomunikasi kecuali dengan bahasa areal tersebut.
Dari tiga titik tersebut para siswa tanpak ceria ngobrol dengan teman-temannya sesuai dengan bahasa lokasi masing-masing tanpa ada paksaan, tanpak sesekali diantara mereka buka kamus ketika ada kosakata yang belum diketahui.
* * *
Dalam benak penulis sempat bertanya kenapa tidak ada areal bahasa madura, apakah karena mereka penduduk asli madura dan setiap hari berbahasa madura dijamin bisa berbahasa madura dengan baik dan benar?
Jawabannya tentu beragam, tapi yang jelas bahasa nomor empat yang paling banyak digunakan di nusantara ini saat ini kurang mendapatkan ruang di kalangan kacong jebbhing (muda mudi) madura, apalagi bahasa madura ada tingkatan-tingkatan bahasa (dhag-ondhaggha bhasa) yang tidak mudah.
Tingkatan bahasa madura ada lima; Bahasa Kraton (abdhi dhalem: saya, junan dhalem: kamu), Bahasa Tinggi (abdhina : saya, panjhenengan: kamu), Bahasa Halus (kaulà : saya, sampèan : kamu), Bahasa Menengah (bulà : saya, tika : kamu), Bahasa Kasar (sèngko’ : saya, ba’na : kamu).
Semua orang madura bisa berbahasa madura, tapi dari tiga juta jiwa penduduk madura belum tentu bisa berbahasa dengan bahasa kraton, bahasa tinggi dan bahasa halus, termasuk juga pelajar. Kenapa? Pendidikan bahasa madura kurang mendapatkan perhatian masyarakat, termasuk di dalamnya pemerintah (khususnya yang menangani pendidikan, dan kebudayaan dan pariwisata). Hal ini terlihat dari kurikulum mata pelajaran bahasa madura yang tidak jelas, serta kurangnya bahan bacaan yang berbahasa madura sebagai bahan pengayaan.
Orang yang peduli terhadap pendokementasian nenek moyang orang madura bisa dihitung dengan jari untuk tidak mengatakan tidak ada, padahal, kalau kita mau menoleh sejenak, ada beberapa karya literer Madura yang semestinya diabadikan, sebut saja semisal Trunojoyo, Joko Tole, Kek Lesap, dan Bindara Saud, yang kesemuanya belum tertuang dalam buku ilmiah dan hanya diwariskan melalui lisan ke lisan. Jika tidak segera diantisipasi tidak menutup kemungkinan kelak orang madura belajar sejarah madura dan bahasa nenek moyangnya ke luar negeri.
Di madura terdapat banyak institusi pendidikan sehingga dikenal dengan kota santri. Penulis yakin dan optimis bahasa ibu orang madura tidak akan luntur bahkan hilang walaupun jembatan suramadu telah usai dan turis manca negara dengan mudah masuk keluar madura jika kurikulum pembelajaran bahasa daerah sejajar dengan materi bahasa indonesia, bahasa inggris dan bahasa mandarin.
Pembenahan kurikulum pendidikan saja tidak cukup jika setiap isntitusi pendidikan belum bisa mengalokasikan laboratorium khusus bahasa madura sebagai ajang ekspresi. Wallahu a’lam.

http://www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar