Oleh : M. Kamil Akhyari
Dua tahun terakhir ini saya mendapatkan kepercayaan untuk mengawasi pelaksanaan ujian. Beberapa bulan yang lalu saya mengawasi pelaksanaan ujian semester ganjil di salah satu madrasah aliyah swasta di lingkungan pondok pesantren. Selama sebelas hari bertemu dengan sekitar lima puluh siswa peserta ujian semester ganjil. Sekalipun telah dua tahun mengawasi pelaksanaan ujian, baru kali ini saya sadar mereka adalah manusia biasa yang tentu memiliki kesenangan yang berbeda.
Puluhan siswa yang ada didepan mata selama pelaksanaan ujian semester, pasti memiliki cita-cita dan mimpi masa depan yang berbeda. Jika berkumpul dengan lima puluh siswa, berarti saya berkumpul dengan lima puluh corak pikiran yang mempunyai angan berbeda.
Diantara mereka ada yang ingin jadi dokter, tapi tidak semuanya. Siswa yang ingin jadi ulama kondang tentu pelajaran yang ia sering geluti adalah bahasa arab dan kitab kuning. Sementara siswa yang ingin jadi penulis hebat konsentrasi belajar bahasa dan sastra indonesia. Tapi mereka harus menerima hukuman yang sama jika nanti nilai evaluasi belajarnya tidak mencapai nilai standart minimum. Perbaikan nilai (remidi) adalah hukuman yang pantas bagi mereka karena belum bisa menyerap semua mata pelajaran yang disampaikan guru.
Sempat muncul pertanyaan dalam benak pikiran, apakah karena pendidikan yang dipaksanakan sehingga out put pendidikan bangsa ini tidak kunjung bermutu, adanya hanya menambah beban negara dan masyarakat. Tapi saya yakin seratus persen, pihak sekolah pasti punya niat yanng baik untuk mencetak siswa yang cerdas dan berkualitas.
Kalau kita telisik lebih jauh, benarkah sekolah ingin melahirkan kader bangsa yang berkualitas? Apakah harus secepat itu semua ilmu dituangkan supaya cepat pintar? Memang pepatah mengatan, “Belajar diwaktu kecil bakaikan mengukir di atas batu”, tapi haruskah terburu-buru? Jika guru bahasa indonesia bisa melahap semua soal bahasa indoensia adalah hal yang biasa, tapi jika guru bahasa indonesia mampu menyelesaikan soal matematika baru luar biasa.
Profesor adalah puncak gelar akademik. Tidak sembarangan orang dapat menyandang gelar tersebut, gelar Prof. tidak diperjual-belikan, hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkan julukan guru besar. Guru besar juga manusia biasa yang tentu tidak mungkin menguasai seluruh disiplin ilmu. Profesor sejarah tentu ahlinya dalam bidang sejarah, sementara dalam disiplin ilmu matematika kalah pada siswa yang melek angka dan konsentrasi belajar matematika. Jika guru besar tidak mungkin menyerap semua ilmu pengetahuan, apakah siswa (yang tidak punya gelar siswa besar) sanggup menelan dua puluh enam mata pelajaran dalam satu minggu? Dapatkah mencerna empat sampai lima disiplin ilmu yang diterima tiap hari?
Pendidkan Pembiaran
Masih terekam jelas saat membaca buku “Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah”. Bagi siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah madrasati jannati (sekolahku surgaku). Kelas bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga tempat bermain. Mereka bebas mengekspresikan apasaja yang dikehendaki untuk mengaktualisasikan minat dan bakatnya tanpa merasa ditekan siapapun.
Belajar adalah pekerjaan yang sangat membosankan karena yang beraktifitas otak dan bermain dengan logika. Tidak mungkin ilmu yang dipelajari akan terserap dengan maksimal jika motifasi belajar karena dipaksa atau dalam keadaan terpaksa. Belajar berangkat dari kesadaran tiap individu karena merasa butuh/penting adalah cara yang paling efektif untuk mempersiapkan generasi bangsa yang bermutu.
Pendidkan pembiaran (berbasis kebutuhan) menjadi tak terelakkan. Memetakan potensi dan memampuan, serta menggiring siswa menekuni pelajaran yang menjadi kegemarannya adalah proses transformasi ilmu pengetahuan yang paling baik untuk melahirkan generas bangsa yang berkualitas. Pembelajaran yang fokus dan terarah menajadi pintu awal keberhasilan institusi pendidikan. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar