Oleh : M. Kamil Akhyari
Judul: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi; Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama
Penulis: Syaikh Idahram
Pengantar: Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A.
Penerbit: Pustaka Pesantren
Cetakan: 2011
Halaman: 280 halaman
Kembali kepada ajaran ‘murni’ agama Islam adalah jargon dakwah kaum Salafi Wahabi. Merujuk kepada sumber primer agama Islam (al-Qur’an dan hadits) adalah sebuah keniscayaan untuk memurnikan agama dari praktik-praktik dan tradisi lokal. Faham yang baru lahir pada abad ke 12 ini (1115 H/1703 M) mengusung misi mengamalkan ajaran Islam secara totalitas (islam kaffah), tidak sepotong-sepotong. Corak keislaman yang diharapkan adalah tegaknya agama Islam dengan sempurna.
Namun, platform kembali kepada ajaran ‘murni’ al-Qur’an dan hadits tak berbanding lurus ketika berdialog dengan realitas sosial. Praktik-praktik sosial yang berlangsung di tengah masyarakat tarkadang tak mendapatkan rujukan langsung dari sumber asasi agama (Islam). Al-Qur’an yang dijadikan standarisasi hanya mencover ajaran agama yang universal dan multidimensi. Dalam memahami al-Qur’an berdasarkan pemahaman salaf ini kaum Salafi Wahabi terjebak dengan literal teks, sehingga pada dataran pengamalannya kaum Salafi Wahabi kerap kali melakukan pengkafiran (tafkir), pemusyrikan (tasyrik), pembid’ahan (tabdi’) terhadap ritual-ritual kemasyarakatan yang tak tercaver secara eksplisit dalam al-Qur’an.
Lebih parah lagi dari hanya sekedar menjustifikasi kelompok lain keluar dari Islam, dalam perkembangan dakwah penyebaran fahamnya, Salafi Wahabi kerap kali melakukan aksi-aksi anarkis, seperti pembunuhan terhadap ratusan ulama yang tidak sefaham dengan Salafi Wahabi, pembantaian massal kepada jamaah haji, melarang dan menghalangi umat Islam menunaikan ibadah haji, merampas harta penduduk yang tak sejalan dengan faham Salafi Wahabi, dan membakar puluhan ribu buku perpustakaan (hal. 96-108).
Aksi bejat tersebut mereka lakukan atas nama jihad fi sabilillah. Pertanyaannya sekarang, demikiankan jihad yang dicontohkan panutan umat Islam? Coba kita lihat sepak terjang perjuangan Kanjeng Nabi Muhammad dalam mendakwahkan Islam.
Semasa hidupnya, Rasulullah melakukan peperangan sebanyak 74 kali. 27 kali peperangan (ghazwah) dipimpinan langsung Kanjeng Nabi Muhammad, dan 47 kali peperangan (sariyah) tidak dipimpinan langsung Kanjeng Nabi Muhammad. Rasulullah melakukan peperangan tersebut demi tegaknya agama Tuhan (jihad fi sabilillah) di atas bumi ini.
Peperangan yang terjadi semasa hidup Kanjeng Nabi Muhammad adalah untuk membela diri sebagai wujud dari kometmennya pada perjanjian yang telah disepakati bersama antar umat beragama, bukan untuk menyerang kelompok lain yang beda agama.
Perang khandaq adalah salah satu peperangan yang dipimpin langsung Kanjeng Nabi Muhammad. Bertepatan dengan bulan Syawal tahun 5 hijriyah terjadilah perang khandaq yang di latarbelakangi dari adanya salah seorang Yahudi yang membujuk dan mengajak orang kafir Quraisy untuk memerangi Nabi Muhammad.
Tak lama dari rencana tersebut, kabar penyerangan tersebut sampai ditelinga Nabi Muhammad. Maka segeralah beliau mengumpulkan para sahabat guna memusyawarahkan masalah yang tengah terjadi pada kaum muslimin. Terjadilah perang melawan orang Yahudi.
Perang khandaq tersebut cukup menjadi contoh kepada kita semua. Rasulullah berperang bukan untuk menyerang kelompok lain yang tak seagama, tapi untuk mempertahankan diri. Jika Rasulullah kepada kelompok lain yang beda agama masih menghormati, kenapa Salafi Wahabi membunuh umat yang beda penafsiran dalam memahami al-Qur’an walaupun masih mengikrarkan dua kalimat syahadat? Benarkah Salafi Wahabi berdasarkan “pemahaman salaf” dan pengikut “madzhab salaf” dalam beragama?
Salafi Wahabi melancarkan aksi-aksi bejat tersebut dengan alasan membela dan memperjuangkan agama Allah. Tapi fakta dilapangan mereka memerangi orang Islam, namun membiarkan para penyembah berhala.
Cukup jelas bukti pembiaran kepada para penyembah berhala yang dilakukan Wahabi, bukti tersebut adalah adanya pernyataan kemesraan pimpinan Salafi Wahabi dengan bangsa Yahudi. Sebagaimana Syaikh Idahram kutip dari Washington Post (19/9/1969) saat mewawancarai pimpinan Wahabi, “Sesungguhnya kami (Wahabi) dengan bangsa Yahudi adalah sepupu,” tutur pimpinan Wahabi (Hal. 134).
Bukti lain hubungan khusus Wahabi dengan Yahudi adalah kerjasamanya dengan Inggris untuk merongrong kekhalifahan Turki Usmani, padahal sudah jelas, sebagaimana analisis Dr. Muhammad Awadh al-Khatib, tujuan akhir merongrong kekhalifahan Turki Usmani adalah merobek-robek kesatuan umat Islam, membangkitkan fitnah dan mengobarkan peperangan diantara sesama muslim demi kepentingan penjajahan Barat dan menyelamatkan ras Yahudi (hal. 127).
Kemesraan penyembah berhala dengan Salafi Wahabi masih terjalin mesra sampai saat ini. Sampai detik ini Wahabi masih setia dijadikan aliran keagamaan resmi yang dianut Kerajaan Arab Saudi yang menginginkan tegaknya Islam secara kaffah. Namun, pemerintah dan kalangan elite Kerajaan Arab Saudi membiarkan penyembah berhala, bahkan memiliki hubungan erat dengan politik Amerika, wabil khusus Partai Republik.
Jelas sudah kebohongan publik Salafi Wahabi dibalik dakwah jargon pemurnian agama melalui simbolisasi agama. Hakikat dakwah mereka, memerangi orang Islam, memecahkan persatuaan umat Islam, dan membiarkan para penyembah berhala.
***
Ditengah maraknya kebohongan publik dan simbolisasi agama yang dibalut dengan kulit yang indah, buku yang belum genap satu tahun telah terbit lima kali ini patut kita baca, sehingga tidak mudah terjerumus ke jurang paham keagamaan yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.Buku yang telah mendapatkan label best seller ini mencoba memaparkan kebohongan publik terhadap para ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang dilakukan Salafi Wahabi dibalik penisbatannya kepada salaf. Wallahu a’lam.
Dimuat di Harian Umum Radar Surabaya, Minggu 31 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar