Minggu, 31 Juli 2011

Membongkar Liberalisme Islam di Indonesia

Oleh : M. Kamil Akhyari

Judul: Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
Penulis: Dr. Zuly Qodir
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Cetakan: I Desember 2010
Tebal: xxx + 310 Halaman
ISBN: 979-25-5338-X

Membincang Islam liberal sejatinya bukan hal baru. Tradisi liberalisme telah mewarnai agama Islam sejak zaman klasik. Aliran-aliran rasional dalam bidang teologi, kalam dan fiqih yang rajin melakukan interpretasi terhadap al Qur’an untuk dikontekskan dengan perkembangan zaman yang sejatinya bukan pemikiran baru. Kelompok Mu’tazilah yang sangat mengagungkan akal dalam memahami Tuhan dan ajaran Islam berdiri pada abad kedua hijriyah, dan aliran Ahl ar-Ra’yi yang senantiasa mengedepankan akal dalam memahami hukum islam digagas oleh Imam Abu Hanifah (699-767M).
Namun, Islam liberal di Indonesia baru marak diperbincangkan ketika ada komunitas yang mengatasnamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL), walaupun sejatinya benih-benih liberalisme Islam sudah lama. Pada tahun 60-an Greg Balton telah membahas gagasan Islam liberal di Indonesia. Berawal dari penelitian Desertasi Greg Balton, bertebarlah buku-buku wacana gerakan pemikiran umat Islam di Indonesia.
Kendati pustaka gerakan pemikiran kaum muslim telah banyak, sampai saat ini gerakan pemikiran umat Islam tak pernah kering dan usang untuk selalu dikaji dan diteliti karena bergerak dinamis seiring dengan masanya. Hal ini menandakan, Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang cenderung pasif.
Dari sekian banyak buku yang memotret gerakan pemikiran umat islam, sampai saat ini belum ada buku yang secara khusus memotret gerakan pemikiran umat islam menyongsong berdirinya komunitas Utan Kayu (JIL). Dalam buku ini Dr. Zuly Qodir mencoba memotret varian liberalisme Islam di Indonesia dalam rentan waktu 1991-2002.
Liberalisme Islam yang berkembang pada tahun 1990-an dengan liberalisme islam pada masa Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid tak jauh beda. Hanya saja, isu-isu yang mereka angkat dimodifikasi, dikemas lebih menarik dan medianya memberikan daya tarik tersendiri, sekalipun substansinya tidak berbeda; urgensi reinterpretasi atas teks agama.
Arus globalisasi dan pesatnya teknologi informasi komunikasi tidak hanya membawa perubahan dalam aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik. Lebih dari itu, modernisasi juga membawa perubahan tingkah laku keberagamaan umat manusia. Pada saat yang bersamaan, pinjam istilah Ulil Absar Abdalla, di satu pihak kita bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi juga sekaligus menjadi muslim yang baik.
Reinterpretasi atas teks agama tidak hanya sebuah keniscayaan, melainkan kebutuhan untuk mendialokkan agama dan realitas saat ini. Interpretasi teks suci hanya berlaku sesuai dengan kondisi zamannya, tak ada interpretasi yang berlaku untuk sepanjang masa, dan absolut. Dari itu, setiap generasi memiliki hak untuk melakukan interpretasi atas teks suci al Qur’an untuk diaktualisasikan sesuai dengan zamannya (Hal: 133-134).
Produk pemikiran muslim liberal dalam menafsirkan tauhid. Menurut mereka, tauhid sebagai ajaran pokok dalam islam difahami sebagai ajaran pembebasan diri sendiri dari sifat individualis, seperti kesombongan, kebanggan pribadi, dan kesenangan pribadi yang berlebihan. Meski demikian, ia sekaligus juga berimplikasi pada hubungan sesama manusia (Hablun min An-Nas) dan dengan Tuhan (Hablun minallah). Sebab, menurut mereka, jika tidak ada perimbangan dalam hubungan manusia dengan manusia dan juga dengan Tuhan maka yang terjadi adalah eksploitasi-eksploitasi atas umat manusia; eksploitasi kaum kaya atas kaum miskin dan juga eksploitasi laki-laki atas perempuan (Hal: 102).

Kontribusi Pemerintah
Gagasan progresif Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid sebagai peletak dasar liberalisme Islam di Indonesia terus melaju cepat. Perkembangan liberalisme Islam di Indonesia tampak sekali dari kekompakan generasi penerusnya dalam mengampanyekan gagasan Islam liberal. Pada tahun 1960-an ijtihad yang dilakukan muslim liberal lebih bersifat individu, tapi pada tahun 90-an ijtihad yang dilakukan muslim liberal lebih bersifat kelompok. Keberadaan komunitas JIL di Utan Kayu jadi bukti yang sulit kita bantah di dalam melejitnya liberalisme Islam di Indonesia dari 50 tahun yang silam.
Tentu, semakin berkembangnya Islam liberal yang ditandai dengan ijtihad individu ke ijtihad kelompok tidak bisa lepas dari peran pemerintah pada saat itu. Makin banyaknya sejumlah besar intelektual muda Indonesia yang bergabung dengan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang mengusung konsep negara Islam sebagai akibat dari rasa frustasi kebijakan rezim, menjadi angin segar bagi komunitas muslim liberal. Pemerintah menyambut baik dan akomodatif atas aliran baru dalam islam ini untuk membedakan agama dan negara.
Soeharto tumbang dari tampuk kepemimpinanya, Habibie tampil sebagai presiden ke tiga. Kebebasan pers jadi misi utama yang di usung Habibie. Pada saat yang bersamaan, kelompok muslim liberal makin leluasa mengampanyekan liberalisme islam tanpa ada intervensi dan tekanan dari pemerintah, pada 21 Agustus 2001 lahirlah Jaringan Islam Liberal di Jakarta.
Namun, di tengah kenikmatan kita menyampaikan pendapat dan gagasan, komunitas muslim liberal sepertinya mengalami kelesuan, spirit mereka diambil alih kelompok fundamentalis. Akhir-akhir ini kelompok yang lantang menyuarakan dakwah adalah kelompok fundamentalis, seperti komunitas Negara Islam Indonesia (NII) yang makin mendapatkan hati dan telah banyak merekrut intelektual muda (baca: mahasiswa).
Ditengah perpecahan umat dan maraknya kekerasan motif agama, buku “Islam Liberal” patut kita baca untuk meneguhkan kembali semangat pluralisme, toleransi, kerukunan, demokrasi, gotong royong dan HAM. Wallahu a’lam.

Dimuat di Harian Umum Koran Jakarta, Kamis 09 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar