Selasa, 17 Januari 2012

Menjaga dan Menggerakkan Madura

Judul: Menuju Madura Modern Tanpa Kehilangan Identitas
Penulis: MH. Said Abdullah
Penerbit: Taman Pustaka Jakarta
ISBN: 978-602-19014-0-3
Cetakan: I, September 2011

Madura adalah nama pulau yang terletak disebelah timur laut Jawa Timur. Besaran pulau garam itu kurang lebih 5.250 km2, dan dihuni sekitar 2,5 juta jiwa yang tersebar di empat kabupaten; Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Warga Madura tersebar diseluruh penjuru negeri ini karena terbiasa merantau. Kondisi tanah yang tandus membuat sebagian masyarakat Madura mencari pekerjaan di luar tanah kelahirannya untuk bertahan hidup.
Namun, pada sisi yang lain banyak kalangan menyebut, pinjam bahasa Emha Ainun Najib, Madura bak penggalan surga yang dijipratkan ke bumi. Alamnya kaya raya dan melimpah ruah. Jika potensi lokal yang dimiliki mampu dikelola dengan baik niscaya masyarakat Madura tak perlu lagi mencari nafkah ke luar Madura.
Upaya melepas diri dari kemiskinan dan keterbelakangan, berbagai kebijakan pemerintah diorientasikan untuk peningkatan Madura. Salah satunya bukti keseriusan pemerintah dalam upaya membangun Madura adalah tiang pancang jembatan Suramadu. Terlepas dari pro kontra, pembangunan jembatan Suramadu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Madura.
Tapi ingat, penyakit diberbagai belahan dunia menunjukkan, pembangunan yang diiringi dengan modernisasi (kebanyakan) harus mengorbankan identitas asli daerah. Buku "Menuju Madura Modern Tanpa Kehilangan Identitas" adalah ijtihad putra Madura yang resah melihat tanah kelahirannya dan berupaya melepas Madura dari kejumudan tanpa harus kehilangan identitas ke-madura-annya pasca industrialisasi Madura.
MH. Said Abdullah dalam buku tersebut menilai, jembatan Suramadu tak hanya sebatas bangunan fisik yang menghubungkan Jawa-Madura. Lebih dari itu, Suramadu adalah simbol transformasi (modernisasi) Madura. Artinya, Madura ke depan akan jadi daerah terbuka dan berbagai gaya hidup dan aliran pemikiran modern akan menjalar dengan leluasa. Hal ini sebenarnya yang jadi kekhawatiran banyak pihak sejak awal.
Modernisasi Madura dibutuhkan untuk mengangkat martabat Madura yang mendapatkan stigma kurang baik, tapi pada sisi yang lain arus modernisasi jadi kekhawatiran banyak pihak. Tradisi dan budaya luhur Madura dikhawatirkan akan tergerus dan dilucuti budaya modern.
Sekalipun belum melihat dampaknya, sentra industrialisasi Madura tak dapat kita cegah. Jembatan Suramadu sebagai sebagai bagian dari untuk mempermudah industrialisasi Madura telah berdiri kokoh. Tak ada cara lain selain menerima dan menanggung segala konsekuensi yang ditimbulkannya.
Solusi yang ditawarkan anggota DPR RI tersebut, tak ada cara lain untuk bertahan mendapat hak hidup pasca industrialisasi Madura selain mensenjatai diri dengan SDM yang memadai sebagai taming. Dalam hal ini pendidikan punya peran sangat penting dalam upaya menumbuhkan SDM yang terampil (hal. 149).
Kesadaran masyarakat Madura akan pentingnya pendidikan harus selalu didengungkan. Pasalnya, kesuksesan sebuah wirausaha sangat ditentukan oleh sistem manajerial. Lagi-lagi, sistem manajerial yang handal tidak lepas dari pendidikan yang memadai.
Tak lama lagi kita akan membuka lembaran baru APBD 2012. Lembaran baru tersebut diharapkan lebih dititikberatkan kepada pembangunan SDM untuk menyiapkan tenaga yang kreatif dan inovatif, sehingga Madura tak akan kehilangan identitas ke ma-madura-annya sekalipun pelancong berbagai belahan negara keluar-masuk Madura.
***
Terlepas dari pro kontra penerbitan buku tersebut yang oleh rival politiknya dinilai sarat dengan kepentingan politis. Dalam kali ini, siapapun saja yang merasa perihatin dengan Madura buku ini layak dibaca sebagai bahan diskusi untuk memulai memperbaiki streotipe Madura yang kurang mengenakkan. Buku yang ditulis hasil perpaduan pengetahuan dan pengalaman diparlemen sangat baik untuk kita baca bersama.
Namun, sebagai karya manusia tentu buku setebal 204 halaman tersebut masih terdapat kekurangan. Dan hal ini sebenarnya tugas kita untuk melengkapi kekurangan tersebut.
Letak kelemahan buku tersebut dapat kita lihat misalnya, kurang mendalamnya penulis dalam mengupas desentralisasi tanpa terlebih dahulu menggambarkan kebijakan tersebut di Madura, sebagaimana disampaikan Pusat Studi Islam PP. Al Amien pada bedah bukunya.
Kekurangan tersebut diakui oleh penulis, karena kesibukan lain membuat penerbitan bukunya tergesa-gesa. Wallahu a'lam.

Dimuat di Majalah Suluh MHSA, Edisi VIII Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar