Jumat, 09 Maret 2012

Menyoal Pembubaran Ormas Radikal

M. Kamil Akhyari

Berawal dari penolakan masyarakat Kalimantan Tengah atas pembentukan Front Pembela Islam (FPI) yang sediakala pengurusnya akan dilantik akhirnya menjadi isu nasional. Sejumlah media menjadikan peristiwa tersebut sebagai topik utama, selain soal korupsi yang menyeret beberapa nama partai penguasa. Dalam menanggapi soal FPI tokoh agama dan cendekiawan muslim pecah belah, apakah sebaiknya ormas ekstrem seperti FPI dibubarkan atau tidak? Anehnya, warga NU, lebih-lebih para elitenya yang mendeklarasikan diri sebagai ormas moderat terjadi perbedaan dalam menanggapinya, yang satu menuntut dibubarkan dan yang lain sebaliknya.
Hal itu bisa dilihat dari pernyataan Ketua Umum PBNU di sejumlah media. KH. Said Aqil Siraj lantang menyuarakan pembubaran ormas anti Pancasila setelah menggelindingnya tuntutan pembubaran FPI. Sementara KH. Hasyim Muzadi, Mantan Ketua Umum PBNU menilai, pembubaran FPI tidak efektif untuk mencegah tindak anarkis.
Selama ini FPI memang lantang menyuarakan nahi mungkar (mencegah kemungkaran) dengan melibatkan insiden destruktif. Sepanjang tahun 2001-2008 setidaknya FPI telah melakukan tindak kekerasan motif agama tak kurang dari 50 kali, mulai dari keributan dalam aksi demonstrasi, sweeping tempat maksiat, tuntutan penutupan aktivitas kemungkaran, penggerebekan lokalisasi, bentrok dengan aparat sampai pemukulan terhadap kaum perempuan dan anak-anak.
Dari serentetan aksi di atas jelas FPI secara moral menyimpang dari ajaran Islam. Misi Islam rahmat bagi segenap alam (rahmatan lil alamin). Dalam mewujudkan cita-cita sosial tersebut Nabi Muhammad selalu bersikap moderat dan menghindari ekstremisme dengan melakukan pembinaan moral (makarimal akhlak).
Jika jelas-jelas menyimpang dari ajaran Islam, apakah FPI perlu dibubarkan secara paksa oleh negara dengan desakan ormas lain?
Menjawab pertanyaan tersebut bukan hal yang mudah, sekalipun negara dengan segala otoritasnya sangat mampu melakukan segala hal, termasuk membekukan ormas puritan. Tapi dalam konteks tuntutan pembubaran ormas anti Pancasila apakah akan efektif untuk meredam anarkisme.
Dr. A.M. Hendropriyono dalam Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam menulis, betapa pun baiknya suatu tujuan jika kekerasan yang dipilih untuk mencapainya, maka secara keseluruhan konsep itu tidak akan mendapat legitimasi sebagai sebuah kebenaran (hlm 163).
Barangkali iktikad baik untuk mencegah tindak anarkis melalui pembekuan komunitas yang selama ini meresahkan warga patut direfleksi kembali jika masih menuai perlawanan. Tidak menutup kemungkinan keberatan tuntutan pembubaran kelompok yang dianggap "berbahaya" akan menuai ketegangan dan konflik baru.

Sejarah yang Terulang Kembali
Maraknya radikalisme agama belakangan ini sama sekali bukan hal yang baru. Fenomina keagamaan tersebut tak lebih sebagai pengulangan sejarah masa lalu yang terulang kembali menjelang berdirinya NU, 31 Januari 1926.
Berdirinya NU di Surabaya tidak lepas dari sebagai respon atas menguatnya revivalisme Islam di berbagai penjuru dunia yang muncul di Hijaz, Saudi Arabia. Gerakan Wahabisme yang di ekspansi dari pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab (w. 1787) dengan ciri watak puritannya mengusung ide maupun pemikiran yang bertentangan dengan arus utama tradisi keagamaan mayoritas muslim pada saat itu. Sebagai gerakan pembaharu, mereka kerap kali menganggap tradisi keagamaan yang tidak selaras dengan fahamnya sebagai sesuatu yang menyimpang dengan kedok bid'ah, khurafat, dan tahayul.
Semangat perlawanan ulama Nusantara semakin kuat setelah gerakan ini mampu meyakinkan Kerajaan Arab Saudi untuk membentuk tatanan pemerintahan atas dasar faham Wahabi. Konspirasi Wahabi dengan kerajaan sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah, seperti harga minyak yang mulai naik. Melambungnya harga minyak yang di ekspor ke berbagai penjuru, menurut Zuhairi Misrawi, turut mampu melakukan penetrasi pemikiran ke berbagai penjuru Islam, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia pengaruh Wahabi dapat dilihat dari Gerakan Padri di Minangkabau. Sekalipun masih perlu didiskusikan secara lebih kritis, tapi keterpengaruhan gerakan Padri dengan ajaran Wahabi nyata. Menurut Abd. A'la, keterpengaruhan tersebut dapat dilihat dari proses penyebarannya yang diprakarsai jemaah haji asal Minangkabau setelah pulang dari menunaikan ibadah haji.
Bersentuhannya kaum Padri dengan ajaran Wahabi selama di tanah suci yang sedang berkuasa menjadi pemicu awal mula ketertarikan mereka untuk mengikuti dan mengembangkannya di tanah kelahiran.
Selain itu, radikalisme gerakan kaum Padri yang tak jauh beda dengan motif kekerasaan yang dilakukan Wahabi di tanah kelahirannya. Kekerasaan yang mereka lakukan tak lepas dari penyisiran ritual keagamaan yang menurut mereka bermuatan bid'ah, tahayul maupun khurafat yang jelas-jelas sesat.
Keresahan ulama terhadap menguatnya gerakan radikal membuat solidaritas antar ulama semakin kuat. Sebagai respon tandingan ulama menyatukan barisan dalam satu jam'iyah (organisasi) untuk meneguhkan nilai-nilai moderasi yang kemudian disebut Nahdlatul Ulama.
Langkah para ulama untuk meneguhkan faham moderasi dengan menanamkan paham ahlussunnah wal jamaah ternyata sangat efektif untuk mengembalikan Islam yang santun. Hal itu dapat dilihat dari massa NU sebagai ormas moderat yang menduduki peringkat teratas selain Muhammadiyah.
Secara populasi dari jumlah warga negara Indonesia, warga yang selama ini kerap melakukan radikalisme motif agama jelas sebagai kelompok kecil dan pinggiran. Tapi kenapa negeri ini selalu diributkan dengan gerakan radikal, dimanakah warga NU yang dikenal moderat dan menjunjung tinggi toleransi?
Barangkali hal yang perlu jadi PR bersama untuk mencegah tindak anarkis, bukan dengan pembubaran kelompok yang mengabsahkan kekerasan. Menguatkan kembali Islam yang ramah trapi terbaik yang bisa dilakukan. Diakui atau tidak, mereka yang mulai tertarik bergabung dengan kelompok puritas sejatinya warga NU yang dikenal moderat. Kelantangkan kaum puritan dalam menjajakan fahamnya sekalipun hanya komunikasi kecil (speaker minurity) mampu mengalahkan organisasi besar yang diam (silent mayority). Barangkali semangat KH. Wahab Hasbullah dan KH. Hasyim Asy'ari dalam menjajakan faham moderat perlu digiatkan kembali untuk mencegah anarkisme, khususnya kepada anak muda. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar