Senin, 10 Desember 2012

Ambil Apinya Gus Dur, Jangan Debunya


M. Kamil Akhyari
 
Ungkapan politisi Partai Demokrat, Sutan Bathoegana, yang menyebutkan Gus Dur semasa menjadi presiden pernah tersandung masalah hukum, yakni Bulog-gate dan Brunei-gate, sehingga lengser, menuai sorotan dan kecaman dari warga NU dan pecinta Gus Dur. Bahkan, makian hingga demo serentak dilakukan disejumlah kantor Partai Demokrat tempat Ketua Komisi VII DPR RI tersebut bernaung.
 
Pernyataan Sutan yang memojokkan Gus Dur disampaikan pada dialog "Mengapa BP Migas Dilengserkan" di DPR RI, Rabu (21/11) lalu. Namun, ucapan Sutan baru tersebar dua hari pasca diskusi tersebut. Adhi Massardi, mantan juru bicara Gus Dur, yang juga menjadi pembicara pada saat itu yang membuka pernyataan Sutan itu kepada media.
 
Selama beberapa hari komentar elite NU dan Demokrat menghiasi media massa, hingga akhirnya Bathogana mendatangi mediaman keluarga Gus Dur dan minta maaf kepada keluarga Gus Dur. Yang tidak kalah menarik dari komentar para tokoh kedua “kubu” tersebut yang sama-sama membela diri adalah komentar dari Front Pembela Islam. Ungkapan Habib Muhsin, Ketua Bidang Dakwah dan Hubungan Lintas Agama DPP FPI, Gus Dur bukan orang wali dan Sutan tidak perlu minta maaf, semakin memperuncingkan persoalan.
 
Ucapan dari pengurus FPI di atas saya rasa tidak bermaksud membela Partai Demokrat yang saat ini sedang berbela sungkawa atas sejumlah kadernya yang sedang dirundung petala: korupsi. Apalagi disana terdapat Ulil Abshar-Abdallah. Mungkin, sebelum mengeluarkan pernyataan kepada media Habib Muhsin tidak mengalkulasi dampak politik.
 
Saya menangkap, pernyataan itu lebih selain ekspresi dendam FPI kepada Gus Dur yang dikenal liberal dan pluralis. Kita tahu, liberalisme dan pluralisme musuh bebuyutan FPI. Dalam pandangan FPI, Gus Dur jauh dari sifat-sifat kewalian, sebagaimana disematkan pengagum dan pecinta Gus Dur. Dengan demikian, pernyataan Sutan tidak perlu dipersoalkan karna Gus Dur hanya manusia biasa dan tidak akan mendatangkan petaka. Gus Dur tidak perlu dibela, katanya.
 
Menanggapi ucapan Habib Muhsin, pecinta Gus Dur naik pitam. Warga NU yang dikenal santun ikut-ikutan mengeluarkan kata-kata serapah dan kotor. Sepertinya tidak diterima tokoh panutannya didiskreditkan kembali oleh oknom FPI setelah oknom Demokrat. Hubungan NU dengan FPI memang jarang sekali akur, untuk tidak mengatakan tidak pernah akur.
 
Entahlah, apakah dengan balik mencela orang yang mencela Gus Dur, almarhum Gus Dur akan tersenyum disana menyaksikan pertiakaian pecintanya melawan orang yang membencinya. Yang saya tahu, Gus Dur sosok yang tidak suka disanjung-sanjung, dan ketika dicela hanya membalas; gitu aja kok repot, sambil tersenyum.
 
Baikhlah. Saya tidak akan ikut-ikutan mencela dan mencerca Sutan Bathogana dan Habib Muhsin. Tapi bukan lantas saya bukan pengagum Gus Dur. Kecintaanku pada Gus Dur melebihi kecintaan orang yang mengeluarkan kata-kata kotor kepada Sutan Bathogana dan Habib Muhsin. Saya juga tidak terima tokoh idolaku dilecehkan. Saya punya cara tersendiri utuk mencintai Gus Dur.
 
Hemat saya, mencintai Gus Dur tidak cukup dengan hanya mengelu-elukan sosok Gus Dur yang saat ini telah wafat dan dikubur dalam liang lahat. Wujud cinta padanya adalah dengan meneruskan dan melestarikan semangat gagasan Gus Dur. Gus Dur boleh mati, tapi pemikirannya tidak boleh mati. Demikian saya mengekspresikan cintaku pada almarhum Gus Dur.
 
Dimuat di Koran Madura, Edisi Senin 11 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar