M. Kamil Akhyari
Ungkapan politisi Partai Demokrat, Sutan Bathoegana, yang menyebutkan
Gus Dur semasa menjadi presiden pernah tersandung masalah hukum,
yakni Bulog-gate dan Brunei-gate, sehingga lengser, menuai sorotan
dan kecaman dari warga NU dan pecinta Gus Dur. Bahkan, makian hingga
demo serentak dilakukan disejumlah kantor Partai Demokrat tempat
Ketua Komisi VII DPR RI tersebut bernaung.
Pernyataan Sutan yang memojokkan Gus Dur disampaikan pada dialog
"Mengapa BP Migas Dilengserkan" di DPR RI, Rabu (21/11)
lalu. Namun, ucapan Sutan baru tersebar dua hari pasca diskusi
tersebut. Adhi Massardi, mantan juru bicara Gus Dur, yang juga
menjadi pembicara pada saat itu yang membuka pernyataan Sutan itu
kepada media.
Selama beberapa hari komentar elite NU dan Demokrat menghiasi media
massa, hingga akhirnya Bathogana mendatangi mediaman keluarga Gus Dur
dan minta maaf kepada keluarga Gus Dur. Yang tidak kalah menarik dari
komentar para tokoh kedua “kubu” tersebut yang sama-sama membela
diri adalah komentar dari Front Pembela Islam. Ungkapan Habib Muhsin,
Ketua Bidang Dakwah dan Hubungan Lintas Agama DPP FPI, Gus Dur bukan
orang wali dan Sutan tidak perlu minta maaf, semakin memperuncingkan
persoalan.
Ucapan dari pengurus FPI di atas saya rasa tidak bermaksud membela
Partai Demokrat yang saat ini sedang berbela sungkawa atas sejumlah
kadernya yang sedang dirundung petala: korupsi. Apalagi disana
terdapat Ulil Abshar-Abdallah. Mungkin, sebelum mengeluarkan
pernyataan kepada media Habib Muhsin tidak mengalkulasi dampak
politik.
Saya menangkap, pernyataan itu lebih selain ekspresi dendam FPI
kepada Gus Dur yang dikenal liberal dan pluralis. Kita tahu,
liberalisme dan pluralisme musuh bebuyutan FPI. Dalam pandangan FPI,
Gus Dur jauh dari sifat-sifat kewalian, sebagaimana disematkan
pengagum dan pecinta Gus Dur. Dengan demikian, pernyataan Sutan tidak
perlu dipersoalkan karna Gus Dur hanya manusia biasa dan tidak akan
mendatangkan petaka. Gus Dur tidak perlu dibela, katanya.
Menanggapi ucapan Habib Muhsin, pecinta Gus Dur naik pitam. Warga NU
yang dikenal santun ikut-ikutan mengeluarkan kata-kata serapah dan
kotor. Sepertinya tidak diterima tokoh panutannya didiskreditkan
kembali oleh oknom FPI setelah oknom Demokrat. Hubungan NU dengan FPI
memang jarang sekali akur, untuk tidak mengatakan tidak pernah akur.
Entahlah, apakah dengan balik mencela orang yang mencela Gus Dur,
almarhum Gus Dur akan tersenyum disana menyaksikan pertiakaian
pecintanya melawan orang yang membencinya. Yang saya tahu, Gus Dur
sosok yang tidak suka disanjung-sanjung, dan ketika dicela hanya
membalas; gitu aja kok repot, sambil tersenyum.
Baikhlah. Saya tidak akan ikut-ikutan mencela dan mencerca Sutan
Bathogana dan Habib Muhsin. Tapi bukan lantas saya bukan pengagum Gus
Dur. Kecintaanku pada Gus Dur melebihi kecintaan orang yang
mengeluarkan kata-kata kotor kepada Sutan Bathogana dan Habib Muhsin.
Saya juga tidak terima tokoh idolaku dilecehkan. Saya punya cara
tersendiri utuk mencintai Gus Dur.
Hemat saya, mencintai Gus Dur tidak cukup dengan hanya mengelu-elukan
sosok Gus Dur yang saat ini telah wafat dan dikubur dalam liang
lahat. Wujud cinta padanya adalah dengan meneruskan dan melestarikan
semangat gagasan Gus Dur. Gus Dur boleh mati, tapi pemikirannya tidak
boleh mati. Demikian saya mengekspresikan cintaku pada almarhum Gus
Dur.
Dimuat di Koran Madura, Edisi Senin 11 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar