Selasa, 19 Februari 2013

Kita Semua Wartawan

Judul: Citizen Journalism; Pandangan, Pemahaman dan Pengalaman
Penulis: Pepih Nugraha
Pengantar: Agung Adiprasetyo
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: Pertama, Oktober 2012
ISBN: 978-979-709-669-4



Kita baru saja memperingati hari pers nasional. Setiap tanggal 9 Februari sejak Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 05 tahun 1985, jurnalis memperingati hari tersebut sebagai hari pers nasional. Tahun ini, pers Indonesia sudah berusia 67 tahun.

Dari sisi usia, pers Indonesia sudah lumayan tua. Perjalanan pers dari masa kemasa tampaknya juga semakin membaik. Dari generasi ke generasi pemimpin bangsa ini, pers semakin mendapat ruang sebagai pilar demokrasi, sekalipun kriminalisasi pers oleh oknum tertentu masih terjadi.

Namun, ketimbang masa Orde Baru, pers kita saat ini sudah mengalami lompatan. Pers sebagai kontrol sosial tidak lagi ada yang mendekte dalam menjalankan tugasnya mengontrol penyelenggaraan negara. Pers bebas menyiarkan berita selama tidak menyalagi kode etik yang telah ditetapkan bersama.

Kebebasan pers dalam menjalankan tugas tentu tidak lepas dari peran dan kiprah Gus Dur. Keberanian Gus Dur saat menjadi presiden untuk menghapus Kementerian Penerangan yang dinilai memasung tugas media massa, kita saat ini bisa menikmati kondusifitas media massa dalam menjalankan fungsinya.

Berapa pejabat publik yang terungkap ‘bermasalah’ pengukapannya juga tidak bisa menafikan peran dan kiprah media massa. Kebebasan pers dalam mengungkap tindak pidana korupsi semakin memudahkan aparat penegak hukum menciduk oknom-oknom yang melakukan kejahatan tersebut.

Namun, kemajuan pers juga tidak hanya karena kuatnya dukungan dari penguasa. Perkembangan teknologi informasi juga turut andil memajukan pers nasional. Teknologi informasi mutakhir tak hanya memudahkan masyarakat menjalin komunikasi dan menyampaikan informasi, tapi juga melahirkan genre baru jurnalisme.

Citizen journalism atau jurnalisme warga adalah istilah jurnalisme baru yang belakangan ini santer kita dengar, dan sebagian media massa di Indonesia sudah menerapkannya. Jurnalisme mazhab baru ini memungkinkan setiap orang untuk jadi pewarta. Jurnalisme warga tidak serumit jurnalis profesional media massa yang kaku dan harus tunduk pada kode etik. Bekal pemahaman jurnalistik juga tidak serumit jurnalis profesional. Kelonggaran ini memungkinkan setiap orang smenyampaikan pemikirannya.

Sekalipun media massa saat ini tidak ada yang dapat menghalangi dalam menjalankan fungsi pers, tapi tidak semua beristiwa bisa disiarkan. Media massa, baik cetak maupun elektronik, dibatasi oleh ruang (space halaman untuk media cetak) dan waktu (durasi tayang untuk media elektronik). Dengan demikian, hanya peristiwa yang dinilai mengandung nilai berita (news value) yang akan disiarkan ke publik.

Luwi Ishwara, sebagaimana Pepih Nugraha kutip dari Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, menyebut sembilan peristiwa yang memiliki nilai berita. Sembilan peristiwa yang memiliki nilai berita yang dimaksud: konflik, kemajuan dan bencana, konsekuensi atau dampak, kemasyhuran dan terkemuka, saat yang tepat dan kedekatan, keganjilan, human interest, seks, aneka nilai (hlm 82-83).

Namun demikian, tidak semua peristiwa yang mengadung sepuluh nilai tersebut bisa disiarkan ke publik karena tidak setiap daerah media massa memiliki wartawan.

Jurnalisme warga memungkinkan semua orang melakukan peliputan. Warga yang menyaksikan atau bahkan terlibat langsung dalam peristiwa tersebut memungkinkan menjadi jurnalis sekalipun tidak memiliki bekal jurnalistik yang memadai seperti jurnalis profesional.

Rukun jurnalisme warga hanya membutuhkan kepekaan atas fakta atau peristiwa yang terjadi dan semangat berbagi informasi, memiliki peralatan teknologi informasi untuk menyampaikan, memiliki kemampuan melaporkan peristiwa, dan blog pribadi atau sosial sebagai media (hlm 19-20).

Kelebihan lain dari citizen journalism adalah keterbatuan informasi dan tidak dibatasi oleh space halaman dan durasi dalam menyampaikan informasi, dan beritanya sampai ke publik secara orisinel karena tanpa sentuhan tangan editor. Konten komentar (surat pembaca) juga memudahkan orang lain memberikan masukan dan respon atas berita yang diterbitkan.

Sekalipun jurnalisme warga lebih bebas dan tidak serumit jurnalisme profesional yang dituntut tunduk pada kode etik dari Dewan Pers yang mengikat pekerjanya, bukan lantas jurnalis warga tidak mengindahkan moralitas dan sopan santun berinternet (netiket).

Pertanyannya sekarang, apakah informasi yang disampaikan jurnalis warga bisa dipercaya? Kata jurnalism (catatan harian) harus dibedakan dengan kata sharism (berbagi). Artinya, jurnalis warga harus tetap merujuk pada fakta.

Dalam buku Citizen Journalism disebutkan sepuluh netiket yang disebut dengan sepuluh firman Tuhan, yaitu selalu mengingat orang lain saat berselancar sehingga tidak mempublish tulisan yang menyinggung perasaaan orang lain, taat kepada standar perilaku online, menghormati waktu dan bandwidth, berusaha kelihatan lebih baik ber-online, bagilah ilmu dan kehalian menolak agar api peperangan tetap terkontrol, menghormati privasi orang lain, jangan menyalahgunakan kekuasaan, memaafkan orang lain yang salah dan sadar saat beada di ruang cyber (hlm 119).

International Telecommunications Union (ITU) melaporkan sekitar 30 persen penduduk bumi sekarang telah mengakses internet. Negara paling banyak penduduknya memanfaatakan jejaring sosial adalah Filipina lebih dari 70 persen. Peringkat kedua Indonesia. Namun, warga yang menggunakan internet sebagai media berbagi informasi masih jarang. Sebagian besar informasi kita masih terima dari media konvensional.

Kehadiran buku Citizen Jornalism yang ditulis pengelola blog sosial Kompasiana yang saat ini dalam sehari berhasil menpuslish tulisan sekitar 800 hingga 1000 tulisan patut kita dengar pengalamannya. Dalam buku tersebut penulis berbagi pengalaman dalam mengelola Kompasiana yang baru berusia enam tahun tapi sudah cukup mapan. Dan yang tak kalah penting, pandangan dan pemahaman penulis tentang citizen journalism yang menggugah pembaca untuk menjadi jurnalis warga. Mari kita semua jadi wartawan!

Koran Madura, Edisi 15 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar