Selasa, 14 Mei 2013

Belajar dari Bang Karni

Judul: Karni Ilyas, Lahir untuk Berita.
Penulis: Fenty Effendy
Penerbit: Kompas
Terbitan: Oktober 2012
Tebal: 396 halaman
ISBN: 978-979-709-671-1

Buku Karni Ilyas, Lahir untuk Berita perlu dibaca jurnalis dan orang yang menaruh perhatian pada jurnalistik. Bukan hanya karena bagaimana ia lihai menyodorkan pertanyaan menggelitik dan tajam saat memandu program Indonesia Lawyers Club (Club) yang cukup fenomenal, tapi bagaimana anak Minang itu melakukan apa yang tidak biasa dilakukan wartawan pada umumnya.

Verifikasi bagian penting dalam jurnalisme. Bill Kovach dan Tom Rosentiel menempatkan verifikasi peringkat ketiga dari sembilan elemen jurnalisme. Pemeriksaan tentang kebenaran sebuah laporan ruh jurnalisme. Dengan demikian, fakta dan fiksi tak bercampur aduk.

Pers Indonesia tampaknya masih lemah dalam melakukan verifikasi. Ini yang didobrak Karni Ilyas. Pria bernama lengkap Sukarni Ilyas itu tidak pernah puas dengan informasi yang diterima sehingga mengharuskannya selalu melakukan verifikasi, apalagi terhadap informasi sepihak. Bahkan, keterangan dari humas sebuah instansi dianggap belum cukup. Jawabannya dinilai terlalu normatif.

Kedisiplinannya melakukan verifikasi dibuktikan saat bergabung dengan Tempo, setelah sebelumnya memulai karir sebagai wartawan di Suara Karya, media palmirah. Karnilah yang mengejar Kartika Thahir hingga ke Geneva, Swiss, yang telah lama menghilang saat bersengketa dengan Pertamina untuk memperebutkan siapa yang berhak atas 19 rekening di Bank Sumitomo milik almarhum suaminya.

Ketika Pengadilan Tinggi Singapura membuka persidangan untuk menentukan siapa yang berhak atas uang tersebut media massa Indonesia memberitakan persidangan tersebut, tapi sumber wawancaranya hanya dari pemerintah. Sementara dari pihak Kartika tidak ada konfirmasi. Hanya orang yang pernah menjadi koordinator liputan dan editor Jawa Pos itu yang bisa menemui Kartika. "Sampai hari ini tidak ada satu wartawan pun yang bisa mewawancarai Kartika lagi," kata Karni. (hlm. 130)

Keberimbangan berita bagi Karni tampaknya juga tak kalah penting, fardhu ain hukumnya. Ia selalu menekankan kepada wartawan, berita tidak boleh menjadi pengacara, jaksa, apalagi hakim. Semua pihak terkait dengan kasus yang hendak diungkap harus dimintai keterangan. Karni membuktikan hal itu saat memimpin Forum Keadilan. Waktu mengangkat skandal tunggakan kredit plus bunga Rp 1,3 triliun di Bank Bapindo atas nama Eddy Tansil pada tahun 1994, Karni memerintah wartawannya juga harus dapat informasi dari Ketua Dewan Penasihat Bapindo J.B. Sumarlin yang ditengarai mengetahui banyak kasus tersebut. Penerima penghargaan Lifetime Achievement Award dari Panasonic Gobel tersebut bahkan harus turun tangan langsung untuk dapat wawancara setelah melakukan pemburuan sembilan bulan.

Itu segelintir dari sekian pangalaman jurnalis senior itu yang diceritakan Fenty Effendy. Pemburuan berita alumni Fakultas Hukum UI tersebut tidak lepas dari bidang hukum. Dengan demikian, Anda yang tidak begitu suka dengan jurnalistik tapi mendalami hukum seyogyanya juga membaca buku tersebut.

Selain itu, disela-sela halaman, dalam buku setebal 396 halaman itu diselipkan catatan hukum Karni Ilyas. Catatan hukum yang telah dimuat di Forum Keadilan itu tetap penting untuk dibaca kembali karena pembaca akan mengetahui proses lahirnya tulisan tersebut dan bagaimana Karni Ilyas melahirkan pemikiran yang demikian.

Anda yang tidak menyukai keduanya juga tidak salah menyimak perjalanan hidup pria yang pernah berjualan koran mencari pembeli hingga jarak sembilan kilometer dari Kota Padang tersebut yang saat ini menjadi direktur/pemimpin redaksi stasiun TV. Bagaimana orang yang pernah menjadi mahasiswa publistik itu yang saat memulai karier kemampuannya sempat dipertanyakan sukses memimpin Forum Keadilan, Liputan 6 SCTV, ANTV, hingga TV One.

Bahasa jurnalistik yang digunakan penulis dalam menceritakan perjalanan hidup Karni 40 tahun sebagai pekerja pers dan kemampuan penulis melacak untuk menemukan jejak jurnalistik Karni hingga tayangan SCTV patut diapresiasi. Namun, beberapa kata yang double sedikit menghambat keasyikan menikuti perjalanan hidup Karni Ilyas. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar