Judul: Sott'er Celo de Roma
Penulis: Donna Widjajanto
Penerbit: Bentang Belia
Terbitan: Pertama, April 2013
ISBN: 978-602-9397-99-4
Dimuat di: Koran Madura, 21 Juni 2013
Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke dewasa. Tak hanya fisik dan penampilan yang berubah, tapi juga cara berfikir dan memandang dunia sudah berbeda dengan masa kanak-kanak.
Namun, sebagian orang masih menganggap remaja sebagai "anak-anak", sehingga terkadang kiprah remaja kurang dihargai. Remaja masih diperlakukan layaknya anak-anak. Padahal, mereka sudah ingin memperlihatkan siapa dirinya.
Demikianlah kebanyakan orang memperlakukan remaja, termasuk Ibu Sisil dalam memperlakukan putrinya, Zetta, dalam Novel Sott'er Celo de Roma. Sekalipun sudah menginjak masa remaja, Zetta masih diperlakukan layaknya anak-anak. Ke sekolah tidak boleh menyetir sendiri. Harus diantar-jemput sopir pribadi. Saat belanja dan rekreasi tidak pernah lepas dari sang ibu. Bahkan, sampai pilihan fakultas di perguruan tinggi, orangtuanya yang memilihkan.
Zetta manut saja dengan perlakuan orangtuanya. Sekalipun tetap diperlakukan layaknya anak-anak, ia tidak memberontak. Menurutnya, dengan mengikuti semua keinginan orangtua, orang yang telah membesarkannya akan bahagia. Membahagiakan orangtua, bagi Zeta, bentuk terima kasih kepada orang kedua orangtua.
Sejak lahir nilai-nilai kemandirian tidak pernah diasah, sehingga Zetta tumbuh jadi remaja yang bergantung kepada orangtuanya. Punya masalah sedikit langsung merengek pada ibunya.
Suatu hari, bersama sang ibu, ia mengunjungi Kota Roma, Italia. Zetta terpukau dengan bangunan yang sudah berdiri sekitar dua ribu tahun lalu. Pilar-pilar raksasa Pantheon yang masih kokoh membuatnya terkagum-kagum, sehingga abai kepada teman-teman serombongan yang mengunjungi kuil yang sekarang berfungsi sebagai gereja itu. Ia tertinggal dari ibu dan anggota rombongan yang lain.
Saat sadar dirinya tertinggal rombongan, Zetta segera keluar Pantheon. Tapi yang terlihat hanya bule-bule yang sedang berjemur di pelataran yang tidak begitu luas. Tak ada warga Indonesia, apalagi tur ibu-ibu khusus belanja, anggota rombongannya (hlm. 2).
Tak tahan dengan udara sejuk musim semi Roma, ia masuk kembali. Di dalam Pantheon, Zetta dikagetkan oleh cowok berjaket dan bercelana jins hitam. Ramadya atau biasa dipanggil Rama, nama orang yang menngagetkan itu, dan masih termasuk anggota rombongan tur ibu-ibu (hlm. 5).
Sekalipun sudah ada Rama, ia masih kepikiran ibunya. Zetta berusaha menelepon ibunya, tapi malah ponselnya mati, tidak ada baterei. Sementara milik Rama, kehabisan pulsa. Kepanikan tidak tercegah, bahkan air mata Zetta sempat merebah.
Di tempat terpisah, di Via Condotti, setelah puas berbelanja di Pizza della Rotonda, Bu Sisil, ibu Zetta, baru sadar "kehilangan" putrinya. Bu Sisil tambah panik setelah mencoba menghubungi HP putrinya tapi tidak aktif. "Aduh, gimana, nih? Jangan-jangan dia diculik!" kata Bu Sisil nyaris histeris kepada Bu Rita yang juga sibuk mencoba menghubungi Rama (hlm. 29).
Acara bersenang-senang ke Roma mendadak jadi duka. Wajah Sisil pucat. Dia kembali lagi ke Pantheon, ditemani Pak Totok dan Bu Yasmine. Sementara rombongan yang lain terus melanjutkan agenda belanjanya. Namun, di dalam gedung gagah itu sudah tak ada lagi Zetta. Ia sudah keluar mencari ibunya dengan Rama. (hlm. 50).
Zetta dan Rama mencari anggota rombongan yang lain ke Piazza di Spagna. Padahal, sudah sekitar satu jam yang lalu rombongan meninggalkan butik di sana. Rombongan sudah berada di Via Condotti.
Sekalipun belum sampai setengah hari Sisil kehilangan Zetta, kepanikannya tak ubahnya dengan orang yang kehilangan putrinya bertahun-tahun. Keliling-keliling Pantheon tak membuahkan hasil. Dia dan dua temannya yang mendampingi memilih kembali ke hotel tempat menginap, Hotel Marsala. Barangkali putrinya pulang ke hotel. Tapi Zetta juga tidak ada di hotel.
Sisil sibuk mondar mandir ke bagian resepsionis untuk menanyakan putrinya, bahkan sampai menghubungi Kedutaan Besar Indonesia di Roma. Namun, kedutaan tidak bisa menerima keluhannya untuk mencarikan putrinya karena yang hilang belum sampai 24 jam (hlm. 60).
Zetta didampingi Rama sudah kesana kemari mencari ibunya tapi tidak membuahkan hasil. Ia memutuskan untuk pulang ke hotel. Zetta berharap bertemu sang ibu di hotel, sekalipun masih ketar-ketir untuk ketemu ibunya, khawatir dimarahi. Maklum, ia tak pernah membuat orangtuanya panik seperti yang dialami saat ini.
Di hotel ia bertemu dengan sang ibu. Tapi setelah bertemu Bu Sisil, Zetta malah kabur lagi. Sang mama tidak bisa mengendalikan emosi. Tak hanya Zetta yang keciprat amarah Bu Sisil tapi juga Rama. Zetta memilih minggat dari ibunya karena tidak kuat mendengarkan kemarahan ibunya. Bu Sisil dinilai terlalu berlebihan mengkhawatirkan dirinya. Ia merasa bukan lagi anak-anak (hlm. 73).
Setting tempat di Roma tentu menjadi nilai plus. Dengan bahasa fiksi, penulis memberikan cara bagaimana seharusnya remaja bertingkah laku dan diperlakukan. Alur cerita yang dikemas ringan dan mengalir tidak membuat pembaca jengah menangkap pesan yang hendak disampaikan penulis. Ditambah ilustrasi-ilustrasi situs-situs sejarah yang menjadi bagian cerita novel tersebut, pembaca diajak ikut terlibat dan menyaksikan kemegahan setiap sudut bagunan tersebut.
Dibalik itu semua, yang menjadi kekurangan buku itu terdapat banyak bahasa asing yang tidak disertai terjemahnya, seperti bahasa Italia, sehingga pembaca sedikit tersendat untuk mengikuti setiap alur cerita. Selain itu, ada kalanya Donna Widjajanto menggambarkan Zetta yang dikenal penurut dan rendah hati pada orangtuanya digambarkan dengan sosok yang tinggi hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar