Judul: Jurnalisme Kompas
Penulis: Yurnaldi
Penerbit: IV Media, Palembang
Terbitan: Pertama, April 2013
Tebal: XXII+154 halaman
ISBN: 978-602-17637-0-4
Dimuat di: RimaNews.com
Harapan Presiden Soekarno --melalui pemberian nama Kompas-- agar Harian Umum Kompas menjadi tempat mencari referensi, tempat memperoleh informasi duduk perkara dan memperoleh solusi, terwujud. Media cetak yang digawangi PK Ojong dan Jakob Oetama itu menjadi kiblat media massa Indonesia.
Banyak sekali media cetak yang menginginkan seperti Kompas, bahkan ada yang 'menjiplak' Kompas. Namun, media yang saat ini berusia 64 tahun itu tetap tidak tersaingi. Barangkali, meminjam istilah Dahlan Iskan, karena koran sudah menjadi Kompas.
Apa rahasia di balik 'dapur' Kompas? Resep apa yang Kompas gunakan sehingga orang yang lapan dan haus informasi menjatuhkan pilihannya pada Kompas? Bukankah banyak sekali media massa yang menyuguhkan menu berita yang sama? Tentu hal ini tidak lepas dari kelihaian para 'koki' dalam mengolah dan menyajikan informasi.
Yurnaldi, wartawan Kompas yang sudah 16 tahun mewarnai media massa itu dalam buku Jurnalisme Kompas membuka rahasia 'dapur' Kompas. Buku tersebut terbilang langka karena tidak banyak buku tentang success story Kompas. Buku itu bukan hanya perlu tapi harus dibaca oleh pengelola dan pekerja media massa yang mengimpikan seperti Kompas.
Rahasia keberhasilan Kompas menjadi salah satu media terbesar di Asia tidak bisa dilepaskan dari kekuatan tiga pilar utama. Jakob Oetama menjelaskan tiga pilar itu adalah kualitas wartawan, kemampuan media menggunakan kacamata lain dalam melihat peluang, serta kuatnya riset media (hlm. 38). Pengelola bisnis media yang menginginkan seperti Kompas harus memperhatikan tiga hal itu.
Pertama,Wartawan Kompas sebagai garda terdepan dalam memburu dan mencari berita dituntut bisa mengolah informasi secara menarik dan bermakna. Bermakna diartikan bagaimana sebuah berita tidak hanya sekedar direkam dan lalu diberitakan, tapi juga memberikan interpretasi, lewat pemberian makna atas kejadian itu sendiri (hlm. 104).
Tentu untuk menghasilkan liputan yang demikian tidak mudahdan setiap orang bisa, sehingga setiap wartawan Kompas wajib memiliki setidaknya 10 kompetensi teknis. Betapa tidak mudah untuk menjadi wartawandanmenjalankan tugas sebagai karyawan Kompas.
Kerja profesional diganjaar dengan gaji yang menggiurkan. Kompas termasuk salah satu media yang memberikan gaji besar. Yurnaldi bercerita, dalam setahun bisa menerima 18 kali gaji pokok. Selain gaji pokok, ada beberapa tunjangan yang jika dijumlah total tidak kalah lebih besar dari gaji bupati/wali kota. Lain lagi fasilitas dan bonos lainnya.
Kompas betul-betul memperhatikan kesejahteraan wartawan, karena hal itu erat kaitannya dengan kualitas berita. Independensi dan kekritisan wartawan yang menerima imbalan dari nara sumber kalaupun masih ada mulai akan terkikis, dan hal itu terhakadang terpaksa harus dilakukan karena antara biaya peliputan dan gaji yang diterima dari perusahaan tidak mencukupi.
Sebagai ilustrasi, sebagaimana Yurnaldi kutip dari hasil penelitian Wina Armada Sukardi pada tahun 2007 terhadap sekitar 600 responden wartawan, hanya sekitar 90 orang (15,40 %) wartawan yang gajinya di atas Rp. 3 juta. Yang bergaji Rp. 2,5 sampai Rp. 3 juta sebanyak 102 orang (17,47 %). Pada kisaran gaji Rp. 2 juta sampai Rp. 2,5 juta sebanyak 226 orang (21,58 %). Wartawan bergaji Rp. 1,5 juta sampai Rp. 2 juta sebanyak 103 orang (17,64 %). Bergaji Rp. 1 juta sampai Rp. 1,5 juta sebanyak 122 orang (20,89 %). Sedangkan yang bergaji di bawah Rp. 1 juta sebanyak 14 orang (7,02 %) [hlm. 4].
Tak heran jika setiap Peringatan Hari Pers Nasional yang jatuh pada tiap tanggal 8 Februari, wartawan selalu mempersoalkan kesejahteraan. Kalau wartawan masih berkutat dengan persoalan gaji, kapan pers akan melakukan kontrol secara maksimal.Wartawan Kompas sudah tidak lagi berbicara kesejahteraan.
Kedua, Rahasia keberhasilan Kompas karena mampu menggunakan kaca mata lain dalam melihat peristiwa. Tidak sedikit objek berita yang diturunkan Kompas juga turun di media lain, tapi di Kompas ada nuansa baru yang tidak tersentuh media lain.
Kita bisa bandingkan hasil liputan Kompas yang ditulis Yurnaldi tentang peluncuran buku biografi Titiek Puspa dengan media lain seperti Sinar Harapan dan media online www.kapanlagi.com (hlm. 78-85). Selain gaya bertutur yang lebih komunikatif dan naratif, ada banyak nilai lebih yang tidak tercatat di media lain.
Kemampuan Kompas melihat dari sudut pandang berbeda dari kebanyakan media, membuat media cetak tersebut tidak ketir tergerus oleh hadirnya media online. Tentu hal itu tidak lepas dari jurnalisme makna yang diterapkan.
Ketiga, semua orang mengacungi jembol liputan riset Kompas. Salah satu yang membedakan Kompas dengan hasil liputan media lain terletak pada kedalaman riset. Kompas tidak hanya memenuhi berita cover both side, tapi lebih dari itu: cover all side.
Riset-riset Kompas tidak sedikit yang berisi kritik atas kebijakan negeri ini. Namun, tidak membuat pihak-pihak tertentu merasa tersinggung apalagi sakit hati. Kompas berusaha menjauhi cara-cara kritik dengan menyakiti, sebaliknya membiarkan orang memperbaiki diri. Pedoman Kompas: Teguh dalam Persoalan, Tentur dalam Cara (hlm. 88).
Terlepas dari keberhasilan Kompas menjadi media besar yang disegani, tak ada gading tak retak. Dalam perjalanan Kompas selama 46 tahun, pasti mengalami jatuh bangun. Yurnaldi dalam buku tersebut tidak menyinggung sama sekali jatuh bangun Kompas sebelum besar seperti saat ini, atau setidaknya pengalaman pribadi yang kurang menyenangkan selama di Kompas, sehingga bisa diambil pelajaran oleh pekerja/pengelola media lain,dan setidak-tidaknya bisa diambil pelajaran oleh orang yang hendak jadi wartawan Kompas.
Namun, kehadiran buku tersebut perlu diapresiasi. Mahasiswa komunikasi, pekerja/pengelola, pemerhati media harus membaca buku itu. Kami tunggu buku seri jurnalistik wartawan hebat lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar