Judul: 12 Menit
Penulis: Oka Aurora
Penerbit: Noura (Mizan Grup)
Terbitan: Pertama, Mei 2013
Tebal: 343 halaman
ISBN: 978-602-7816-336
Dimuat di: Jawa Pos Radar Madura, Minggu 29 September 2013
Kesuksesan adalah imbalan atas jerih payah. Bukan pemberian cuma-cuma. Maka tak heran untuk menggapainya penuh kucuran keringat, air mata, bahkan darah. Jalan menuju kesukesan memang terkadang tidak mudah sehingga tak cukup hanya mengandalkan semangat, tapi juga butuh kesabaran.
Hal itu barangkali pengalaman pribadi Rene, pelatih Marching Band Bontang Pupuk Kaltim, untuk bisa mengenyam pendidikan di fakultas Music Education and Human Laerning di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Amerika, dan bergabung dengan marching band tingkat internasional. Ia harus melewati masa-masa sulit untuk meraih cita-cita.
Karakter "keras" dan pantang menyerah dirinya dalam menggapai cita-cita ditularkan kepada para pemain marching band yang diasuhnya. Ia tak segan membentak, bahkan sudah menjadi "sarapan" para pemain tiap kali latihan. Tiga kali dalam seminggu. Hal itu demi juara Grand Prix Marching Band (GPMB), perhelatan terakbar marching band se-Indonesia.
Rene tak tanggung-tanggung dalam upaya meraih juara GPMB. Ia tak kenal kompromi dalam memberikan sanksi kepada pemain yang kurang serius dalam bermain. Ia tak peduli dengan alasan cobaan hidup yang datang silih berganti dan pergulatan batin beberapa tokoh pemain yang nyaris mustahil bisa terselesaikan sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Yang ada dibenaknya, mereka harus selalu bersemangat untuk menyabet tropi. Apapun masalah yang dihadapi.
Lahang sang color guide, Tara yang bertugas memainkan snare drum, dan Elaine pemain biola adalah orang-orang yang selalu terkena sambaran kemarahan Rene. Dan mau tidak mau harus menerima hukuman. Hukumannya memang hanya membersihkan peralatan marching band dan pulang terlambat sesuai dengan keterlambatannya (hlm. 120). Tapi ocehannya membuat hati tersayat.
Ucapan-ucapan keras yang keluar dari mulut Rene bahkan sempat membuat Tara ingin keluar dari marching band. Tara tak lagi tertarik untuk jadi pemain inti marching band sekalipun perjuangannya untuk mengapai itu butuh waktu hampir setahun. Ocehan-ocehan Rene yang terkadang terlalu kasar hanya menambah sederet masalah yang dihadapi.
Sejak kecelakaan yang menewaskan bapaknya, Tara memang belum bisa beradaptasi sepenuhnya, apalagi pendengarannya sudah terganggu (hlm. 198-202). Ketika kangen bapaknya yang sudah tiada dan ibunya yang sedang menempuh studi di luar negeri, konsentrasinya pecah. Ketidakkonsentrasiannya dalam latihan selalu mengacaukan tim, sehingga Rene selalu mengomel pada Tara.
Namun, Tara bisa melewati masa-masa sulit tersebut berkat motivasi Oma, Opa, dan Rene sendiri. Tara yang sempat menghadap ke Rene untuk mengutarakan niatnya keluar dari marching band kini harus kembali lagi menghadap untuk membatalkan niatnya. Kata bijak Opanya yang melekat: kendaraan yang mogok ditanjakan harusnya bukan didorong sampai lewat tanjakan. Harusnya didorong sampai bengkel terdekat (hlm. 159). Artinya, potensi Tara bermain snare drum tidak cukup hanya diasah sampai jadi pemain inti. Tapi perlu terus diasah sampai menyabet juara.
Lain Tara, lain pula masalah Elaine. Josuke, ayah Elaine, sejak kecil menginginkan putrinya jadi ilmuwan. Marching band dianggap hanya hura-huara. Tapi apa boleh buat, Elaine setelah tumbuh besar terlanjur jatuh cinta pada marching band. Sekalipun sang bapak tak mengizinkannya, Elaine tetap bergabung dengan marching band. Ibunya adalah benteng pertahanannya dalam menghadapi sang ayah.
Sering datang terlambat ke tempat latihan dan menerima hukuman bukan beban berat bagi Elaine. Beban yang sangat besar ketika dihadapkan pada situasi harus memilih antara dua hal yang tak mungkin dia lakukan. Namun, Elaine tetap harus memilih antara mengikuti GPMB atau Olimpiade Fisika. Sementara jadwal persiapan olimpiade bersamaan dengan latihan, dan pelaksanaannya pun bersamaan pula (hlm. 154).
Tanpa memedulikan kemarahan bapaknya yang pasti kecewa besar kalau lebih memilih mengikuti GPMB, dan kekecewaan ibu kepala sekolah, Elaine lebih pemilih ke GPMB. Elaine menganggap lebih penting marching band demi kekompakan tim yang sudah dibina hampir satu tahun lamanya (hlm. 220-222).
Masalah yang dihadapi Lahang lebih rumit lagi. Lahang hampir mau pulang tidak mau mengikuti GPMB sekalipun sudah tiba di Jakarta karena bapaknya menghembuskan nafas terakhir. Ini merupakan kejadian kedua kalinya Lahang tidak bisa menyaksikan orang tersayangnya dicabut rohnya. Saat ibunya meninggal, Lahang juga tidak sedang di rumah.
Namun, Lahang membulatkan niatnya untuk mengikuti GPMB dan tidak jadi pulang. Pasalnya, Kalau Lahang pulang dia hanya akan menemui jenazah ayahnya yang sudah tidak ada yang bisa diperjuangkan kali. Namun, jika bertahan dia telah memperjuangkan dirinya. Jika nanti bawa pulang juara, perpisahan dengan bapaknya akan menjadi kenangan indah dan tentu bapaknya akan sangat bangga di sana (hlm. 319).
Ketekatan menghadapi masa-masa sulit terbalaskan. Sekalipun Tara bermain dalam keadaan pendengaran terbatas, Elaine bermain dengan penuh gejolak jiwa dan Lahang bermain dalam suasana duka, mereka bermain cukup serius, dan permainannya dinobatkan sebagai juara umum GPMB. Kenangan yang tak mungkin pernah terlupakan sepanjang hayat karena telah mengharumkan nama baik tempat lahirnya.
Perjuangan anak-anak muda yang tak takut meraih mimpi tersebut, Oka Aurora tulis sangat detail hingga gemericik bunyi drum dan nada terompet. Latar cerita Kalimantan Timur menambah pengetahun pembaca akan budaya dan tradisi Indonesia yang plural.
Namun, pembaca yang tidak bergelut dengan marching band dalam setiap lembarnya akan menemukan kosakata asing, istilah-istilah marching band, seperti rudiment, mallet, legato dan lain sebagainya. Tapi pada halaman akhir dilengkapi glosarium istilah-istilah tersebut. Vincero!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar