Kamis, 02 Januari 2014

Perjuangan Anak Negeri


Judul: Mahamimpi Anak Negeri
Penulis: Suyatna Pamungkas
Penerbit: Metamind, Solo
Terbitan: Pertama, 2013
Tebal: 438 halaman
Dimuat di:  Radar Madura, 29 Desember 2013

Novel bertema sosial dan religi sedang menjadi tren. Novel dengan latar perjuangan anak kampung yang hidupnya terisolasi meraih mimpi dan novel pencarian spiritual saling berebut pembaca, sekalipun keduanya memiliki penggemar tersendiri. Novel Mahamimpi Anak Negeri mencoba memadukan dua tema tersebut.

Suyatna Pamungkas, sang penulis, dalam buku setebal 438 halaman itu mengisahkan perjuangan empat pemuda --berjuluk Empat Pawana-- yang jenuh dan gelisah dengan kondisi sosial dan keagamaan kampung halamannya di Desa Bukit Bayur, sebuah desa pedalaman hutan pinus di Kabupaten Banyumas. Mereka adalah Tegar Prakoso, Sudarwin, Waris Subekti serta Elang, dan belakangan ditambah Senja.

Sekalipun usianya cukup muda, masih duduk di bangku SMP, Empat Pawana sudah merasakan ketimpangan sosial dan kejahiliaan masyarakat kampung halamannya. Kekayaan alamnya yang melimpah tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya. Demikian pula dengan pengamalan agama. Meski mayoritas penduduknya mengaku beriman tapi tidak pernah beribadah.

Dengan bersekolah, mereka ingin jadi anak yang pintar dan kelak bisa menghapus ketimpangan sosial yang mereka saksikan tiap hari. Dan dengan mengaji, Empat Pawana ingin jadi anak yang alim sebagai bekal untuk "mengislamkan" warga Bukit Bayur.

Setiap pagi, mereka harus menempuh perjalanan 15 kilometer berjalan kaki dengan kondisi jalan yang becek untuk menuntut ilmu di SMPN 4 Satu Atap Cilongok (hlm. 63). Pada malam hari harus turun-naik gunung menyusuri jalan sempit dan terjal, dan menyeberangi sungai untuk mengaji di Masjid Sayyidina Hamzah di Wogen Legok, asuhan Ustaz Ahmad.

Itulah mukadimah perjuangan Empat Pawana mengusir Perusahaan Hutan yang telah menipu dan "menjajah" penduduk Bukit Bayur. Perusahaan yang menyewa tanah warga yang ditanami tebu dan disulap menjadi hutan pinus dengan harga sangat murah, empat puluh rupiah setara dengan sepuluh gram emas selama 100 tahun (hlm. 142).

Perjuangan tersebut juga awal dari berdirinya pesantren sebagai tempat ibadah dan pendidikan di Desa Bukit Bayur, setelah masjid atau lebih tepatnya langgar berdiameter lebar tiga meter dan panjang empat meter dengan dinding dari anyaman bambu yang dibangun Empat Pawana sebelum hijrah menuntut ilmu ke luar kota dibakar Kepala Polisi Hutan, Pak Sapon (hlm. 250-251).

Dari kisah buku yang diterbitkan Metamind itu pembaca dapat belajar bahwa perjuangan ternyata tak cukup hanya bermodalkan semangat dan kerja keras. Memperjuangkan idealisme juga butuh ketahanan, utamanya ketahanan ekonomi. Karena impitan ekonomi, Waris terpaksa harus keluar dari Empat Pawana karena harus ikut transmigrasi mendampingi ibunya ke Kalimatan pasca bencana yang meratakan rumahnya. Dan disusul Tegar tidak bisa ikut pengembangan mencari Kiai Nasir, untuk memperdalam ilmu agama.

Pengembaraan mencari Kiai Nasir sebagaimana direkomendasi Ustaz Ahmad hampir membubarkan Empat Pawana. Elang nyaris menyerah karena terjalnya kehidupan yang harus dialami. Ditambah ibunya di kampung halaman dikabarkan meninggal dunia. Namun, Darwin bisa meyakinkannya dan bisa melewati masa-masa tersebut hingga akhirnya menerima beasiswa studi di UGM, Yogyakarta.

Perjuangan mengusir Perusahaan Hutan membuahkan hasil setelah Elang berhasil menyelesaikan studi S-3 di Stuttgart. Sementara mendirikan pondok pesantren adalah syarat untuk menyunting Senja, alumni pasca sarjana Al Azhar, Mesir.

 Pengetahuan penulis yang luas, tak hanya mampu menceritakan perjuangan empat remaja kampung melakukan perubahan secara apik dan menggungah. Dalam setiap lembarnya, pembaca akan menemukan pengetahuan-pengetahuan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar