Kamis, 08 Mei 2014

NU di Tengah Arus Modernisasi

Judul: Dialektika Tradisi NU di Tengah Arus Modernisasi
Penulis: Ali Hasan Siswanto
Penerbit: iQ Media, Surabaya
Terbitan: Pertama, Januari 2014
Tebal: 130 halaman
ISBN: 978-602-9672-80-0
Dimuat di: Tabloid Pelajar, Edisi III/April-Juni/13-14

Pergulatan Nahdlatul Ulama mengiringi bangsa Indonesia hingga saat ini tentu telah mengalami banyak perubahan dari awal berdirinya pada 88 tahun silam. Di usianya yang kini sudah hampir mencapai satu abad, dinamika menjadi sebuah keniscayaan. Dan NU tampaknya tidak terlalu mengekang diri dengan sesuai yang datang dari luar. Paradigma yang dikedepankan NU sikap toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth), proporsional (tawazun), dan keadilan (ta'adul).

Perubahan yang dimaksud tentu bukan tanpa kendali dan lepas kontrol. Pada sisi-sisi tertentu NU tetap mempertahankan warisan penggagas dan pendirinya, namun pada sisi tertentu telah mengalami perubahan. Terkait dengan hal ini ada adagium yang sangat populer dikalangan nahdliyin, al-muhafadatu 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah, melestarikan tradisi (lama) yang relevan dan mengadopsi tradisi (baru) yang lebih relevan.

Pertanyaannya sekarang, sejauh mana tradisi ormas terbesar di negeri ini tersebut mengalami perubahan seiring dengan tuntutan zaman? Buku Dialektika Tradisi NU di Tengah Arus Modernisasi yang awalnya tesis pasca-sarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya mengetengahkan persoalan tersebut. Ali Hasan Siswanto memfokuskan objek kajiannya di Probolinggo, kota kelahirannya, dengan beberapa pertimbangan ilmiah.

Sekalipun kajian dan penelitian tentang NU telah bertebaran, namun NU penuh dengan nuansa dan warna sehingga kajian tentang NU selalu menarik dan hingga saat ini tidak kunjungan usai. Sudah tak terhitung buku yang mengupas tentang NU, baik yang ditulis penulis dari dalam negeri maupun yang ditulis penulis dari luar negeri, namun buku setebal 130 halaman terbitan iQ Media ini tetap urgen untuk melengkapi khazanah tentang NU.

Konservatif-Progresif
Motivasi utama didirikannya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 M./ 6 Rajab 1344 H dilatari dua faktor yang datang dari internal dan eksternal; pertama, desakan untuk melestarikan tradisi dan nilai-nilai keamanan tradisional yang dalam ancaman kepunahan. Pada saat itu, sejumlah ulama dan kiai mengalami kekhawatiran terhadap fenomena gerakan Islam modernis atau reformis (baca: Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan Al Irsyad) yang bertendensi mengikis identitas kultur dan paham Aswaja yang hidup dan pertahanan sejak ratusan tahun silam.

Kedua, respons terhadap pertarungan ideologi yang terjadi di dunia Islam pasca penghapusan kekhalifahan Turki Utsmani, dan resistensi terhadap faham Wahabisme di Hijaz yang dipelopori Muhammad Ibnu Abdul Wahab dan Neo-wahabisme di Mesir yang dikomandoi Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Rasyid Ridho. Wahabi secara puritan hendak mengikis madzhab Syafi'i dan berbagai simbol tradisi dan praktis ajaran tasawuf di kalangan Ahlussunah wal Jamaah.

Secara sosiologis, NU diidentikkan dengan kelompok tradisionalis, berbasis pedesaan dan pesantren serta bercorak agraris dengan berpijak pada khazanah pemikiran klasik dan tradisi lokal. Sikap cendrung resisten terhadap nilai dan budaya yang datang dari luar yang dapat mengikis kultur, termasuk arus yang dibawa Islam modernis, membuat NU dipandang sebagai organisasi yang konservatif (hlm. xiv). Memang pada saat itu belum ada upaya untuk melakukan interpretasi terhadap khazanah klasik.

Namun pada tahun 1980-an di bawah Rais 'Amm KH. Ahmad Shiddiq dan Ketua Dewan Tanfidz PBNU KH. Abdurrahman Wahid, muncul wacana baru sebagai perkembangan pemikiran yang berani mempertanyakan interpretasi khazanah klasik dan mencari relevansi (hlm. xxii). Mulai saat itu, NU mulai berubah wajah dengan menjadi organisasi kemasyarakatan yang bercorak progresif. Pada perkembangan perikutnya berdiri lembaga swadaya masyarakat yang mendukung progresifitas pemikiran masyarakat NU, seperti LP3ES, Lakpesdam, dan LKiS.

Gus Dur telah mengilhami generasi muda NU untuk bersikap lebih kritis. Doktrin Aswaja dan taqlid madzhab yang menjadi ciri khas NU telah direinterpretasi sedemikian rupa. Kitab kuning sebagai sumber dan acuan baku untuk menjawab pelbagai persoalan kehidupan bukan lagi satu-satunya rujukan, namun juga melibatkan ilmu sekuler yang notabene dari Barat sebagai pisau analisa.

Tapi, modernisasi bukan lantas mengubah struktur dan tradisi yang ada. Perubahan yang terjadi hanya sebatas modifikasi, improvisasi, dan artikulasi budaya. Dalam hal ritual tradisi lokal seperti slametan, misalnya, penggunaan perangkat modern seperti sound system hanya sebagai penunjuk (hlm. 122). Sementara kemasan dan substansinya tidak mengalami pergeseran.

Demikian juga dengan pesantren sebagai sub kultur NU, perubahan yang terjadi hanya menyangkut perlengkapan infrastruktur dan bangunan fisik serta cara bersikap yang lebih terbuka. Terkait dengan inklusifitas pesantren, bisa dilihat dari mulai digalakkannya kontekstualasisasi kitab kuning dengan realitas saat ini melalui dialektika. Sehingga kekayaan tradisi pesantren terus dapat dipertahankan dan diselaraskan dengan budaya yang jauh berbeda dari masa lalu (hlm. 123).

Dengan demikian, Ali Hasan Siswanto berasumsi bahwa NU oraganisasi yang sangat maju dan modern, karena hingga saat ini tetap berpijak pada tradisi klasik yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, namun hal itu tidak membuat NU tergerus oleh perubahan karena mampu beradaptasi setelah melalui proses dialektika. Hal itu bukti keberhasilan NU dalam mengimplementasikan adagium al-muhafadatu 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah.
***
Namun, penulis kurang detail dalam menyajikan data pada bab 3. Semestinya, pada bab tersebut penulis mendeskripsikan objek kajian secara detail dan lengkap, dalam hal ini deskripsi Kabupaten Probolinggo. Penulis hanya menyajikan macam-macam tradisi lokal di daerah tersebut dan sejarah islamisasi Jawa serta tradisi lokal apakah termasuk tradisi Islam atau sinkretisme (hlm. 61-94).

Perlu juga menjadi catatan untuk cetakan berikutnya, editor buku Dialektika Tradisi NU di Tengah Arus Modernisasi kurang memperhatikan rambu-rambu gramatika bahasa, sehingga banyak dijumpai tanda baca dan ejaan yang menyalahi ketentuan umum berbahasa Indonesia yang baku. Penerbit juga kurang hati-hati dalam memeriksa karena ditemukan cacat produksi seperti halaman tidak lengkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar