Senin, 05 Mei 2014

Mengubah Mental Kuli

Judul: Entrepreneur Radikal
Penulis: Muhammad Ridlo Zarkasyi
Penerbit: Rene Book, Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2013
Tebal: 329 halaman
ISBN: 978-602-19153-9-4
Dimuat di: Radar Madura

Secara ekonomi, Indonesia masih jauh untuk dikatakan negara maju. Indikatornya, jumlah pengusaha sebagai fondasi perekonomian negara masih hanya 0,3 persen. Sementara syarat awal menjadi negara maju harus memiliki pengusaha minimal 2 persen dari jumlah penduduk.

Meskipun tak ada yang membantah negara tetangga pernah belajar ke Indonesia, namun dari sektor ekonomi Indonesia hari ini kalah jauh. Malaysia misalnya, telah memiliki pengusaha sebesar 3 persen, Singapura 7 persen, Cina 10 persen, apalagi Amerika Serikat 12,5 persen (Ahmad Rifa’i Rif’an, Muda Kaya Raya Mati Masuk Surga: 2013).

Muhammad Ridlo Zarkasyi menengarai belum tumbuhnya semangat berwirausaha di Indonesia disebabkan: pertama, mental kuli bangsa sebagai efek psikologis dari puluhan tahun dijajah oleh bangsa imperialis. Kedua, stereotip masyarakat yang belum menjadikan entrepreneurship sebagai profesi bergengsi (hlm. vii).

Efek psikologis yang ditanamkan penjajah membekas terhadap etos kerja masyarakat hingga saat ini. Mental kuli membuat masyarakat terkungkung dan takut untuk keluar dari zona nyaman. Walau memang setiap orang mencari kesenangan dalam hidup, namun ”kenyamanan” itu justru menjerumuskan ke dalam kemiskinan.

Ditambah lagi stereotip masyarakat Indonesia tentang pekerjaan sebagai wirausaha yang masih dianggap sepele dan tidak menjanjikan ketimbang jenis pekerjaan yang lain. Meski di negeri ini peluang bisnis sangat besar dan belum banyak yang menggarap, namun yang tertarik belum banyak. Bahkan, masyarakat lebih tertarik jadi kuli di luar negeri dengan menjadi TKI daripada menjadi raja di negeri sendiri dengan memulai wirausaha.

Antrean menjadi pengusaha memang tak sepanjang antrean jadi pegawai negeri sipil (PNS). Stereotip menjadi pengusaha belum bergengsi seperti bekerja di kantoran. Tak heran jika semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tidak tertarik untuk berwirausaha.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS tahun 2004 mengeluarkan hasil penelitian, sarjana yang pekerjaannya mandiri 5,85% dan tidak tamat SD 20,8%, sementara sarjana yang menjadi karyawan 83,1% dan yang tidak tamat SD 8,9%.

Tampaknya, stigma tersebut masih langgeng hingga saat ini. Hal itu didasarkan pada angka pengangguran lulusan perguruan tinggi yang mengalami tren kenaikan. Dalam tiga tahun pengangguran meningkat mencapai 26 persen. Pada 2004, jumlah penganggur sarjana sebanyak 585.358 orang, sementara pada 2007 mencapai 739.206 orang (hlm. 13).

Fakta di atas menunjukkan bahwa pekerjaan rumah pemerintah tak cukup hanya memberikan pendidikan secara merata tapi bias. Untuk menjadi negara maju, kualitas SDM perlu ditopang skill yang mumpuni sehingga bisa menjadi mitra industri. Institusi pendidikan jangan lagi jadi penyuplai bebas bangsa, tapi harus menjadi pekerja siap pakai.

Untuk mencapai hal itu tentu tidak cukup menggalakkan wacana kewirausahaan dan memperbanyak distribusi bantuan, tapi juga harus dibarengi dengan upaya-upaya mengubah mindset. Selama pola pikir kuli warisan penjajah masih melekat, untuk memenuhi 2 persen pengusaha sebagai syarat negara maju tampaknya masih butuh waktu cukup lama.

Buku Entrepreneur Radikal bagian dari ijtihad mengubah pola pikir itu. Kesadaran pembaca digugah sehingga terdorong untuk menjadi wirausaha secara radikal. Wirausaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan total, bukan sebagai ajang coba-coba apalagi pelarian, sehingga tak goyah menghadapi tantangan bisnis.

Namun demikian, pelaku usaha juga perlu membaca buku setebal 329 itu. Muhammad Ridlo Zarkasyi berbagi pengalaman inspiratif seputar dunia usaha. Dalam beberapa bagian diuraikan solusi-solusi taktik mengatasi tahapan-tahapan krisis dalam bisnis yang pasti dialami setiap pelaku usaha. Dengan belajar dari pengalaman orang lain, kita bisa mengantisipasi dan meminimalisasi guncangan usaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar