Minggu, 03 Agustus 2014

Hitam Putih Soeharto

Judul: Anak Tani Jadi Presiden
Penulis: Travin Masyandi dan Afin Murtie
Penerbit: Ar-Ruzz Media
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 288 halaman
ISBN: 978-602-7874-69-5
Dimuat di: Koran Madura 25 Juli 2014

Tiga puluh dua tahun kekuasaan, bukan hal mudah untuk dilupakan
Sangat lama Soehato di puncak tahta, mewariskan banyak nostalgia
Jasanya dimunculkan kembali, saat dosanya sudah tak bisa diadili
Romantisme masa lalu, tercampur rasa kecewa pada rezim baru
Ketika rakyat tak sabar menunggu, yang diingat tentu kejayaan zaman dulu
Boleh saja merindukannya, asal jangan tutupi kesalahannya

Sajak Najwa Shihab di atas menggambarkan kegelisahan wong cilik. Sudah 16 tahun era reformasi berjalan, namun berbagai persoalan masih melilit negeri ini. Rakyat mulai kurang percaya dengan janji-janji politik calon presiden, toh lima kali berganti presiden prestasinya juga tak banyak dirasakan. Bahkan hidup di era Soeharto dinilai lebih nyaman.

Sebagian rakyat mulai pesimis dan menghibur diri dengan mengenang masa kepemimpinan Soeharto yang berhasil melakukan swasembada beras. Kerinduan tersebut bersambut dengan upaya pihak-pihak tertentu yang berusaha memunculkan kembali kenangan-kenangan manis penguasa tunggal Orde Baru itu. Pria kelahiran Desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta, 8 Juni 1921 dirindu sekaligus dibenci.

Terlepas dari kontroversi yang mengiringi, Soeharto berhasil melakukan swasembada pangan pada tahun 1984. Dari tahun 1969 menjadi negara pengimpor beras terbesar dengan jumlah minimal 2 juta ton, Soeharto berhasil membalik menjadi penghasil beras 25,8 juta ton.

Prestasi tak melakukan impor beras mengantarkan presiden kedua itu tampil di podium Konferensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Pada kesempatan itu pula, petani Indonesia menyumbangkan bantuan satu juta ton gabah kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan (hlm. 130).

Fakta itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini yang setiap tahun mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan nasional. Pada tahun 2013, misalnya, negeri agraris ini mengimpor beras sebanyak 472 ribu ton senilai US$ 246 juta (Tempo.co, 5/4/2014). Dalam hal ini, presiden yang baru nanti harus belajar dari Soeharto.

Di bawah kepemimpinan Soeharto pula, Indonesia mempu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Dari pertumbuhan ekonomi minum 2,25 persen di tahun 1963 langsung jadi plus 12 persen pada tahun 1969. Selanjutnya Indonesia berhasil masuk ke dalam kelompok negara ekonomi industri baru karena mengalami peningkatan pendapatan per kapita sampai 3 kali lipat dari tahun 1969 sampai 1990 (hlm. 129).

Soeharto memang banyak berjasa, namun elemen masyarakat yang lain tetap tidak melupakan dosa-dosanya. Terlalu besar dosa suami Siti Hartinah (Ibu Tien) itu untuk dimaafkan, sekalipun orangnya telah tiada. Barisan ini senantiasa bersuara lantang melawan pihak yang merusaha melupakan dosa-dosanya. Istilah Fajroel Rahman, perjuangan ingatan melawan lupa.

Kesalahan Soeharto yang sulit untuk dimaafkan berupa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dengan motif menciptakan stabilitas keamanan nasional di era revolusi tahun 1965. Alih-alih menciptakan stabilitas keamanan, cara-cara Soeharto melakukan stabilitas setelah peristiwa G30S sangat ceroboh dan melanggar HAM. Penembakan misterius (petrus) terhadap para penjahat dinilai terlalu berlebihan (hlm. 141-142).

Kesalahan lain berupa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dengan berbekal tujuh yayasan dan beberapa bisnis keluarga, Soeharto diperkirakan melakukan penyelengan kekuasaan dan uang negara sebenar US$ 15-35 miliar (hlm. 144). Namun, kasus tersebut tak tuntas disebabkan Soeharto sakit dan menyusul meninggal pada 2008.

Beberapa plus minus Soekarno tersebut bagian kecil dari isi buku Anak Tani Jadi Presiden karya Travin Masyandi dan Afin Murtie. Buku setebal 288 halaman itu lebih banyak mengurai sisi lain kemanusiaan Soeharto. Buku biografi ini semacam ikhtisar dari buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang cukup tebal (599 halaman dengan sekitar 102 bab), dan ada beberapa tambahan dari sumber lain.

Dengan mengesampingkan hitam putih sosok Soeharto, presiden dan wakil presiden terpilih harus belajar dari pemimpin-pemimpin sebelumnya agar tidak terjebak di jurang yang sama yang kesekian kalinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar