Selasa, 25 November 2014

Sufisme dan Pembebasan Rakyat

Judul: Syeikh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan
Penulis: Achmad Chodjim
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Juni 2014
Tebal: 328 halaman
ISBN: 978-602-290-008-5
Dimuat di: Kabar Madura, 22 November 2014

Ada yang perlu dikoreksi dari keberagaman kita, khusus umat Islam sebagai penduduk mayoritas dan banyak mengisi jabatan pengurus publik. Pasalnya, nilai-nilai luhur dan agung yang dianut dengan perilaku sehari-hari kontradiksi. Menyaksikan ketua partai politik Islam divonis dan menteri agama jadi tersangka korupsi membuat sebagian orang alergi bahkan fobia agama.

Perilaku kontradiksi itu terjadi karena agama (Islam) hanya diartikan dengan syariat atau akidah saja. Islam hanya dipahami secara literal-tekstual, sehingga hal-hal substansial terabaikan. Untuk mengatasi hal itu, Said Aqil Siraj (2013) mengatakan tasawuf sebagai jalan keluar dari persoalan hukum, politik, ekonomi, dan agama di Indonesia.

Tasawuf atau sufirme secara sederhana dapat diartikan dengan piranti untuk mengetahui cara menyucikan jiwa, menjernihkan sopan santun, membangun sinergi lahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Perilaku ahli tasawuf bukan lagi menekankan aspek formal (syariah), tapi substansial (haqiqat).

Syahadat yang diucapkan, salat yang dikerjakan, zakat yang ditunaikan, puasa yang dilaksanakan, dan berangkat haji ke tanah suci bukan untuk formalitas. Kalau hanya itu, muslim sulit melepas mentalitas pembangunan yang buruk, mental korupsi dan kolusi yang seakan telah menjadi gurita di negeri ini.

Syeikh Siti Jenar
Menyaksikan kondisi Indonesia saat ini mengingatkan pada perkataan Syeikh Siti Jenar. Syeikh mengatakan bahwa ibadah umat Islam banyak yang palsu, khususnya para punggawa. Dikatakan palsu karena tidak memberikan manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat bawah.

Zaman reformasi saat ini tak ubahnya zaman Syeikh Siti Jenar 500 tahun silam. Hanya terjebak pada ritual dan upacara agama semata, yang secara kasatmata kurang memberikan manfaat untuk kehidupan manusia. Selama hal itu masih berlangsung masyarakat tetap dalam kebodohan dan kemiskinan, dan selamanya akan dibodohi dan dimiskinkan.

Syeikh Siti Jenar melawan mentalitas pembangunan yang buruk itu melalui pendidikan di Pesantren Lemah Abang. Syeikh mendidik murid-muridnya agar tak dikuasai manusia lain, karena manusia memiliki hak hidup yang sana. Para muridnya dilatih mandiri, tak bergantung kepada siapa pun.

Kemadirian hanya akan dimiliki manusia yang sudah melebur (manunggal) dengan Tuhannya. Tiada sekat antara hamba dan Tuhan, sehingga yang ada hanya ke-esa-an. Pengalaman di maqam wahdaniyyah menyebabkan adanya perasaan setempat, sezaman, dan sewujud dengan Allah. Dalam kondisi ini ada yang mengalami perasaan mabuk kepayang. Menjadi majdzub, hilang kesadaran manusiawi (hlm. 88).

Inilah yang dilatihkan Syeikh Siti Jenar kepada murid-muridnya. Karena memang lahir dan batin pada hakikatnya bukanlah dua hal yang terpisah, tapi hanya satu adanya. Tidak dualitas. Setiap manusia yang dilahirkan ditiupkan ruh-Nya. Sementara ruh-Nya baru bisa aktif bila telah dinafkahi dengan laku yang berdasarkan ilmu batin (tasawuf) [hlm. 118].

Syeikh mengajarkan murid-muridnya memiliki sifat Tuhan, sehingga bisa menjadi khalifah sejati, yang merupakan perwujudan lahir dan batin dari keberadaan Ilahi. Orang yang demikianlah yang bisa menjadi manusia mandiri, tidak terjerat kekuasaan duniawi (hlm. 119).

Namun, hal ini hingga sekarang banyak disalahpahami oleh mereka yang tidak merasakan, sehingga citra Syeikh Siti Jenar negatif. Mungkin vonis hukuman mati yang dijatuhkan Raja Demak menjadi pembenar bahwa ajaran syeikh sesat. Padahal, Achmad Chojim menyatakan hukuman itu politis.

Hukum mati bukan semata-mata karena ajaran manunggaling kawula-Gusti, menyatunya hamba-Raja, yang dianggap menyesatkan umat Islam, tapi lebih kepada dampak ajaran yang dinilai bisa merongrong kekuatan.

Chodjim berargumen, ketika Demak masih sibuk dalam penaklukkan, ajaran Syeikh Siti Jemar bisa diterima oleh raja-raja Jawa yang telah memeluk Islam. Pada saat itu friksi ajaran Islam yang dipegangi Raden Fatah (Raja Demak) dengan Syeikh belum mengemuka. Ada 40 tokoh yang berguru pada syeikh.

Saat kekuatan Demak kuat dan Pengging telah ditaklukkan, melihat banyaknya tokoh yang berguru kepada syeikh di rumah Jeng Kiai Ageng Pengging, Raden Fatah cemas. Sebab, Ki Pengging adalah cucu Prabu Brawijaya V. Raja Demak Khawatir nanti melakukan pemberontakan.

Syekh lalu diperintahkan menghentikan ajarannya. Karena tak mau, vonis mati dijatuhkan dalam sidang para wali di Cirebon. Sementara eksekusi baru dilaksanakan di akhir pemerintahan Raden Fatah (hlm. 12-14).

Itulah sekelumit tambahan sejarah Syeikh Siti Jenar, tapi buku Syeikh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan bukan buku biografi tentang Syeikh Siti Jenar. Buku setebal 328 halaman itu mengupas ajaran Syeikh Siti Jenar, dengan fokus kajian tentang tauhid, akhlah, dan makrifat Syeikh Siti Jenar.

Penting menjadi bahan refleksi keberagaman sekaligus meluruskan tuduhan-tuduhan miring tentang ajaran Syeikh Siti Jenar. Karena yang mengkritik dan yang dikritik tak pernah bertemu dalam satu meja diskusi untuk melakukan klarifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar