Selasa, 17 Maret 2015

Menjaga Produktivitas Menulis

Judul: Jangan Cuma Pintar Menulis!
Penulis: Eko Prasetya
Penerbit: Griya Literasi
Terbitan: Pertama, Januari 2015
Tebal: 296 halaman
ISBN: 978-602-0931-08-1

Kata orang bijak, memiliki barang tak sesulit memelihara dan merawatnya. Demikian pula dengan menulis. Menulis itu mudah, menjaga produktivitas menulis yang susah. Oleh karenanya, penulis tak cukup berbangga diri dengan disebut penulis karena pernah menggoncang jagat kepenulisan, namun kini sudah tak menulis.

Memang ada banyak godaan yang dihadapi penulis, sehingga mereka berhenti menulis. Salah satunya adalah faktor kesibukan. Seakan tak ada waktu menulis karena terlalu sibuk dengan tugas di tempat kerja, kampus, rumah, dan semacamnya. Sejatinya, sederet argumen itu adalah alasan klise yang menjadi pembenar untuk tidak menulis.

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Amrullah atau dikenal dengan Buya Hamka cukup menjadi contoh. Karena tulisannya yang kerap dianggap berseberangan dengan kebijakan pemerintah, pada masa pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Ir. Soekarno, Buya Hamka sempat dipenjara. Namun, aktivitas menulisnya tak berhenti sampai disitu.

Semasa dipenjara pada 1964-1466 di Jawa Barat, Buya Hamka menelurkan buku Tafsir Al Azhar, salah satu karya ilmiah terbesar yang hingga saat ini menjadi rujukan (hlm. 39).

Dari Adolf Hitler, sekalipun tokoh yang tidak disukai, kita perlu belajar. Tokoh Nazi Jerman itu dipenjara setelah mengalami kegagalan kudeta. Namun selama 13 bulan dipenjara, ia menyelesaikan buku Mein Kampt (Perjuanganku). Terbit pertama kali pada tahun 1925 dan langsung meledak dalam waktu singkat.

Di kalangan pecinta literasi, siapa yang tak kenal Pramoedya Ananta Toer. Akibat tulisan-tulisannya ia sering dipenjara oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, rezim Soekarno, dan Soeharto. Dari penjaga ia menelurkan sejumlah karya.

Ketika ditahan di Pulau Biru, sekitar tahun 1956, Pram menyelesaikan empat novel legendaris yang disebut Tetralogi Baru, yaitu buku Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Buku lawas tersebut tetap dimintai dan laris.

Buku Dari Penjara ke Penjara terdiri dari tiga jilid yang berisi pengalaman panjang Tan Malaka sejak masa kolonial Belanda hingga masa-masa revolusi di Indonesia ditulis di tengah kesibukannya. Pemilk nama asli Sutan Ibrahim itu memang dikenal pelahap buku yang gila. Ia rela berhutang dan tidak makan untuk membeli buku.

Keterbatasan fasilitas juga bukan alasan untuk tidak menulis. Kata Muhammad Natsir, mulailah dari apa yang ada. Sebab, yang ada itu lebih dari cukup untuk memulai (hlm. 43). Negarawan, politikus, dan ulama tersebut sangat rajin menulis.

Agar konsisten menulis, Eko Prasetya menawarkan metode menulis dengan komitmen. Misalnya, komitmen menulis 1/2 jam per hari atau 1/2 halaman per hari. Metode ini bertujuan untuk mendisiplinkan diri dalam menulis buku (hlm. 48).

Buku Jangan Cuma Pintar Menulis! lebih banyaknya mengupas trik menerbitan buku dengan cara mudah tanpa bergantung kepada penerbit. Disampaikan dengan bahasa ringan. Buku setebal 298 itu sebenarnya adalah buku yang sudah enam kali ditolak penerbit.

Buku terbitan Griya Literasi terdiri dari lima bab. Bab pertama seputar problem yang biasa dihadapi penulis. Kedua, metode menulis. Ketiga, kisah keberhasilan penulis hebat. Keempat, motivasi menulis. Kelima, teknis menulis dan menerbitan buku.

2 komentar: