Minggu, 12 April 2015

Di Balik Perjalanan Hidup Nabi Muhammad

Judul: Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad
Penulis: Tariq Ramadan
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Januari 2015
Tebal: 372 halaman
ISBN: 978-602-290-026-9
Dimuat di: Koran Madura, 6 Maret 2015

Jika masa depan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh sejauh mana wawasan masyarakatnya terhadap sejarah masa lalunya, membaca buku Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad adalah sebuah keniscayaan sebagai investasi awal menuju kemajuan bangsa mayoritas berpenduduk muslim ini.

Tariq Ramadan mengajak pembaca menyimak kehidupan Nabi Muhammad dengan alur cerita yang didasarkan pada biografi klasik, sekaligus renungan dan komentar dari sudut spiritual, filosofis, sosial, legal, budaya, dan kultur yang terinspirasi dari penuturan fakta. Nabi Muhammad adalah cermin menghadapi peliknya tantangan zaman sekarang dan akan datang.

Hal itu didasarkan pada asumsi bahwa perjalanan hidup Nabi Muhammad bukan sebuah kebetulan tanpa makna. Bahkan, pemberian namanya pun berasal dari mimpi ibunya ketika masih mengandung. Konon, mimpi itu juga telah memberitahukannya tentang kelahiran pemimpin umat (hlm. 36).

Suka dan duka Nabi Muhammad dan pendahulu muslim dalam meretas jalan dakwah memang telah direncanakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai pelajaran untuk Nabi Muhammad dan umatnya dalam meniti kehidupan kini dan nanti. Allah sangat kuasa melakukan hal instan dalam membumikan agama-Nya tanpa kucuran keringat dan darah Nabi Muhammad, namun tidak menghendaki.

Nabi Muhammad lahir dalam keadaan yatim. Abdullah meninggal saat Nabi Muhammad masih berusia dua bulan dalam kandungan Siti Aminah. Enam tahun kemudian ibunya menyusul sang ayah menghadap Ilahi. Abdul Mutahlib, kakek yang mengasuhnya setelah menjadi yatim piatu, menyusul dua tahun setelah kepergian ibunya.

Menjadi seorang yatim piatu yang juga miskin sebenarnya merupakan sebuah inisiasi untuk menjadi seorang rasul Allah di masa depan agar tidak meninggalkan orang-orang yang terpinggirkan dan membutuhkan bantuan. Dari pengalaman langsung Nabi Muhammad tahu lebih baik daripada orang lain apa yang mereka alami.

Kerentanan dan kerendahan hati akibat ditinggal orangtua tak hanya membuat Nabi Muhammad benar-benar bergantung pada Allah, tapi juga membuatnya dekat dengan orang fakir. Al Qur'an mengingatkannya untuk tidak melupakan masa lalunya. (hlm. 39).

Saat akan menginjakkan kaki di di dunia, Allah telah menyiapkan padang pasir sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad yang kelak juga menunjang mengemban tugas sebagai rasul. Kata Tariq, adang pasir kerap menjadi wilayah yang akrab dengan kenabian karena secara alamiah menawarkan cakrawala tanpa batas untuk diamati manusia (hlm. 40).

Sementara bagi masyarakat nomad yang selalu berpindah tempat, ruang tanpa batas diasosiasikan dengan kebebasan yang berpadu dengan pengalaman kefanaan, kerapuhan, dan kehinaan. Orang nomad belajar untuk selalu berpindah menjadi terasing dan memahami siklus waktu di pusat ketidakterbatasan ruang (hlm. 40).

Tariq melanjutkan, kondisi seperti ini merupakan pengalaman hidup orang beriman, seperti yang kemudian Nabi Muhammad lukiskan kepada Abdullah ibn Umar dalam ungkapan yang menyiratkan dimensi kehidupan padang pasir: "Hiduplah di muka bumi seperti seorang asing atau pengelana (hlm. 40).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar