Sabtu, 27 Juni 2015

Sakera, Tatag, dan Madura

Judul: The History of Madura
Penulis: Samsul Maarif
Penerbit: Araska, Yogyakarta
Terbitan: Pertama, Januari 2015
Tebal: 224 halaman
ISBN: 978-602-300-072-2
 Dimuat di: Mata Sumenep, 1 Juni 2015

Sittung Sakera mate, saebu Sakera tombu pole 
Satu Sakera mati, seribu Sakera (baru) lahir kembali
(Sakera)

Sakera menjadi icon orang Madura. Tak banyak literatur Belanda yang menjelaskan tentangnya karena anti diktator. Tokoh kelahiran Kelurahan Raci, Bangil, Pasuruan, itu berjuang melawan penjajah Belanda dengan berbekal sebuah celurit demi mempertahankan Pulau Madura.

Sebagai penghormatan, pakaiannya dilestarikan menjadi pakaian adat Madura. Namun yang lebih penting dari sekadar mengabadikan pakaian, nilai-nilai luhur dan karakter pribadinya perlu lebih ditonjolkan. Indonesia membutuhkan sosok seperti Sakera dalam ketegasan membela kebenaran.

Ungkapan populer hilang satu tumbuh seribu di atas adalah teriakan Sakera yang ditujukan terhadap pihak Belanda sebelum dihukum gantung di Pasuruan. Sakera dihukum gantung karena membela rakyat kecil dari kezaliman penjajah.

Perkelahian Sakera dengan Brodin, Markasan, dan Carik Rembang dengan menggunakan senjata celurit yang kemudian menjadi awal lahirnya budaya carok di Madura merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, ketidakadilan, dan keberpihakan terhadap kebenaran.

Dalam konteks ini, carok harus dipahami sebagai dampak ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum. Ketidakadilan menimbulkan kerusuhan massal, masyarakat mengambil inisiatif menjadi pengadilan jalanan (hlm. 170).

Melawan Belanda
Menurut cerita rakyat yang diterima Samsul Ma'arif, carok antara Sakera dan antek-antek Belanda itu bermula dari pabrik gula milik Belanda membutuhkan banyak lahan baru, dan membeli lahan perkebunan rakyat dengan cara licik. Tanah dibeli dengan harga murah dan melakukan teror terhadap pemilik tanah (hlm. 165).

Carik Rembang sebagai penguasa menggunakan jabatannya untuk mewujudkan keinginan Belanda dengan cara-cara kekerasan dan teror. Dari hasil pembebasan lahan untuk perusahaan Belanda, Carik Rembang diiming-imingi harta dan kekayaan.

Sakera berkali-kali menggagalkan upaya Carik Rembang. Pihak Belanda marah besar saat mendapat laporan dari Carik Rembang karena Sakera dinilai telah menghalang-halangi. Seorang jagoan bernama Markasan diutus untuk membunuh Sakera.

Saat Sakera berkunjung ke rumah ibunya, dia dikeroyok oleh Carik Rembang beserta Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh, dia akhirnya menyerah dan dipenjara di Bangil (hlm. 166).

Sakera sempat kabur dari penjara untuk membunuh Brodin yang menyelingkuhi istrinya, Marlene. Dia juga balas dendam dimulai dari Carik Rembang. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tangannya dengan celurit miliknya.

Dengan cara licik, Belanda menemui teman seperguruan Sakera bernama Aziz untuk mencari kelemahan Sakera. Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban. Akhirnya dia dilumpuhkan dengan bambu apus di acara tayuban, ditangkap, dan dihukum gantung oleh Belanda (hlm. 167).

Karakter Tatag
Tindakan Sakera merupakan perbuatan tatag (berani), karakter asli orang Madura. Tatag adalah berani karena benar bukan karena dibayar, apalagi membela kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu. (Koran Madura, 24 Desember 2012).

Karakter tersebut terus mengalir dalam darah orang-orang Madura seperti sosok Trunojoyo, Syeikh Mathuro, Mahfud MD, dan Artidjo Alkostar. Namun tampilnya sosok berintegritas tinggi tersebut belum mampu menghapus stereotype bahwa orang Madura kasar, mudah tersinggung, tidak mempunyai sopan santun, dan keras kepala yang dikonstruk bangsa Eropa.

Buku The History of Madura dalam beberapa bagian menyebutkan karakter tatag orang Madura. Secara umum, buku setebal 224 halaman bertutur sejarah panjang Madura dari masa kerjaan, kolonialisme, sampai kemerdekaan. Penting untuk menjadi pengantar kajian maduralogi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar