Selasa, 16 Juni 2015

Mewaspadai Wahabi Masa Kini

Judul: Sejarah Wahabi & Salafi
Penulis: Khaled Abou El Fadl
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Februari 2015
Tebal: 142 halaman
ISBN: 978-602-290-019-1
Dimuat di: Koran Madura


“Gerakan Wahabi akan menorehkan pengaruh kuat dalam menentukan keyakinan dan teologi semua gerakan puritan berikutnya”
(Khaled Abou El Fadl)

Sebelum negeri ini bernama Indonesia, ulama Nusantara telah menyadari akan bahaya ajaran Wahabi. Salah satu faktor eksternal yang melatari berdirinya Nahdatul Ulama (31 Januari 1926) yaitu respons terhadap munculnya gerakan Wahabi di Hijaz, Arab Saudi.

Ciri menonjol Wahabi adalah kebencian luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisisme, dan sektarianisme dalam Islam, dengan memandang semua itu sebagai inovasi yang menyimpang yang telah masuk ke dalam Islam (hlm. 9).

Gerakan yang digagas Muhammad ibn Abdul Wahab (w. 1206 H./1792 M.) dengan atas nama pemurnian agama Islam yang dinilai telah tercemar oleh ulama Nusantara dianggap berpotensi bahaya karena menghalalkan segala cara untuk membendung pihak yang ditengarai menghambat gerakan Wahabi dan kelompok yang berbeda.

Syaikh Idahram (2011) menyebutkan, Wahabi membunuh ribuan umat Islam di Karbala, Thaif, Makah, Madinah, Uyainah, Ahsaa dan sekitarnya. Membakar dan memalsukan kitab, serta membunuh ulama yang tak sepaham. Merampas harta. Membantai umat Islam. Memusnahkan situs sejarah.

Wahabi mengakui aksi pembunuhan yang dilakukan. Hal itu dilakukan untuk melakukan purifikasi iman dari praktik luar Islam yang dinilai sebagai inovasi bidah. Namun, semangat berlebihan tersebut meninggalkan bercak hitam dan mendapat perhatian besar dari negara muslim lain karena potensi bahayanya tidak hanya di tanah kelahiran Wahabi.

Menurut Khaled Abou El Fadl, tindakan ekstrem Osama bin Laden dan Omar Abdur Rahman terinspirasi dari Ibn Abdul Wahab dengan bersandar pada preseden kekejaman yang sama persis sebagai suatu cara untuk menjustifikasi pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap bersalah (hlm. 25).

Teror yang dilakukan Salih Saraya (dieksekusi 1975), Syukri Musthafa (dieksekusi 1978), dan Muhammad Abdus Salam Faraj (dieksekusi 1982) di Mesir merupakan perpaduan pemikiran Wahabi-Salafi. Mereka menyerukan digelarnya operasi militer terhadap penguasa seluruh negara Islam yang melakukan bidah (hlm. 78).

Neowahabisme
Wahabi telah beranak pinak di dunia muslim modern di bawah benderanya sendiri. Indikasi adanya gerakan Wahabi di belahan negara muslim yaitu tumbuh-suburnya teologi puritan saat ini yang terinspirasi oleh gerakan yang digagas Ibn Abdul Wahab.

Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, Kerjaan Arab Saudi telah memulai suatu kampanye sistemis untuk menyebarkan pemikiran Wahabi di kalangan umat Islam yang berada di negara-negara muslim maupun nonmuslim (hlm. 82).

Lebih penting lagi, Arab Saudi telah menciptakan sejumlah sistem bantuan finansial berskala dunia dengan memberi bantuan yang melimpah bagi mereka yang menyokong “tipe pemikiran yang benar” atau mereka yang benar-benar menahan diri untuk tidak mengingkari paham Wahabi (hlm. 83).

Besaran persedian dana Arab Saudi yang melimpah untuk mendukung ajaran-ajaran Wahabi, tak mungkin ada kekuatan yang dapat secara efektif menghalangi arus persebaran pengaruh Wahabi. Yang bisa kita lakukan mawas diri dan tidak mudah terjebak dengan jargon “kembali pada Al Qur’an dan hadits”.

Buku Sejarah Wahabi & Salafi mengingatkan kebangkitan neo-wahabisme dengan modus dan bungkus lain. Khaled Abou El Fadl cukup kritis menelanjangi keran-cuan-kerancuan pemikiran Wahabi, selain penguasaan yang mendalam terhadap sepak terjang Wahabi.

Buku terbitan Serambi setebal 142 halaman itu dalam konteks Indonesia sangat urgen dan signifikan. Pasalnya, di tengah berbagai persoalan pelik negeri ini, gerakan puritan menguat sebagai bentuk perlawanan dan solusi terbaik me-ngatasi masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar