Rabu, 05 Agustus 2015

Peran Kiai As'ad dalam Perebutan Senjata Belanda

Judul: K. H. R. As'ad Syamsul Arifin, Kesantria Kuda Putih Santri Pejuang
Penulis: Ahmad Sufiatur Rahman
Penerbit: Tinta Medina, Solo
Terbitan: Pertama, Mei 2015
Tebal: XXXVIII+210 halaman
ISBN: 978-602-72129-7-8
Dimuat di: NU Online

Pada tahun 2014, Wakil Gubernur Syaifullah Yusuf membuka tapak tilas dalam rangka menyusuri jalur perjuangan KH. R. As'ad Syamsul Arifin melintasi 100 desa untuk berebut senjata Belanda di gudang mesiu Desa Dabasan Bondowoso pada tahun 1947. Tak kurang dari 4000 peserta mengikuti kegiatan tersebut.

Pada 2002, Gus Dur membuka acara tersebut. Diikuti sekitar 5000 santri Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo.

Memang Kiai As'ad memiliki peran penting dalam merebut senjata Belanda. Beliau turun langsung berbaur dengan bromocorah yang menjadi binaannya (disebut Pelopor) memimpin perebutan senjata sambil berpuasa pada 20 Juli 1947 untuk mendukung perlawanan gerilyawan atas agresi militer Belanda.

Para Pelopor sebenarnya meminta Kiai As'ad untuk tidak turun langsung ke dalam hutan. Mereka khawatir terkena serangan Belanda. Namun, beliau bukan tipe orang yang suka duduk manis di atas kursi melihat orang lain bekerja. Beliau bersikeras ikut serta merebut senjata dan siap berperang melawan Belanda.

Kiai As'ad menyadari cinta tanah air bagian dari iman, dan pentingnya sebuah tanah air untuk mengamalkan ajaran agama. Agama tanpa tanah air sulit untuk direalisasikan. Sementara tanah air tanpa agama akan amburadul. Keduanya ibarat sebuah mata uang, sisi yang satu dengan yang lain tak bisa dipisahkan.

"Perang itu harus niat menegakkan agama dan 'arebbuk negere (merebut negara), jangan hanya 'arebbuk negere! Kalau hanya 'arebbuk negere, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga" (hlm. 138).

Demikian motivasi yang Kiai As'ad tanamkan kepada para Pelopor. Dengan motivasi itu, para Pelopor semangat menyusuri jalan cadas nan berbatu menanjak melintasi 100 desa, dan tak takut mati untuk memperoleh senjata demi mempertahankan tanah air sebagai bentuk pengamalan orang beriman.

"Kalian tidak boleh mundur. Kalau mati, akan syahid dan masuk surga. Namun, jika lari ke belakang, kalian akan meninggal dalam keadaan kafir," dawuh Kiai As'ad kepada para Pelopor sebelum berangkat merampas senjata Belanda (hlm. 107).

Misi mengambil senjata tak mengalami hambatan berarti, namun satu anggota Pelopor tewas. Anggota Pelopor berhasil mengambil 24 senjata api dan amunisi, termasuk senapan jenis bren, sten gun, lee enfield, mortir, light machine gun, serenteng peluru tajam, dan granat (hlm. 136-137).

Sementara pesantren Salafiyah Syafiiyah menjadi tempat berlindung dan menyusun strategi para gerilyawan. Sehingga, pasukan Belanda menggerebek pesantren untuk mencari gerilyawan dan senjata. Bahkan, pesantren hendak dibom karena dinilai membahayakan tapi pesawatnya meledak terlebih dahulu di udara, sementara gerilyawan berhasil kabur dari pesantren termasuk Kiai As'ad.

Namun, ada penyusup dan yang dipandu oleh orang dalam Pesantren Sukorejo sendiri yang berkhianat. Penggerebekan pesantren menjadi ajang fitnah di media dan Kiai As'ad dituduh melakukan makar pada NKRI dan terlibat dalam DI/TII. Akhirnya Kiai As'ad menjadi tahanan politik selama enam bulan. Kiai As'ad kembali ke Sukorejo tahun 1954.

Buku K. H. R. As'ad Syamsul Arifin, Kesantria Kuda Putih Santri Pejuang membawa imajinasi pembaca menyusuri perjuangan Kiai As'ad mulai merebut senjata Belanda hingga kembali ke Sukorejo setelah dipenjara. Penting dibaca negeri muda di tengah lunturnya rasa memiliki terhadap tanah air.

Berbeda dengan buku Kharisma Kiai As'ad di Mata Umat (LKiS, 2013) dan Sang Pelopor (Pena Salsabila, 2014) yang penulisnya menggunakan pendekatan non fiksi sehingga harus menggunakan bahasa ilmiah, Ahmad Sufiatur Rahman menulis dalam bentuk fiksi sejarah. Buku setebal 210 halaman jauh dari membosankan layaknya buku sejarah pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar