Kamis, 20 Agustus 2015

Perbandingan Hukum Humaniter Islam dan Internasional

Judul: Islam dan Urusan Kemanusiaan
Editor: Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin
Penerbit: Serambi
Terbitan: Februari 2015
Tebal: 413 halaman
ISBN: 978-602-290-024-5
Dimuat di: Kabar Madura, 24 Juli 2015

Kata jihad seolah-olah identik dengan perang, khususnya terhadap non muslim. Doktrin ini selalu menjadi tameng untuk melegalkan pembunuhan atas nama agama. Akibat ulah segelintir orang yang menyalahartikan doktrin jihad, Islam identik dengan kekerasan, tak berprikemanusiaan.

Memang peperangan bukan sesuatu yang haram, baik dalam hukum Islam maupun hukum internasional. Nabi Muhammad juga melakukan namun dalam batas kewajaran, dan selalu menekankan kepada para sahabat yang akan berlaga di medan perang agar tidak melampaui batas.

Nabi Muhammad selalu mengingatkan di antaranya agar perang dilakukan atas nama dan di jalan Allah bukan karena ambisi nafsu, tidak membunuh secara sadis, tidak membunuh perempuan dan anak-anak kecil, dan tempat ibadah. Beberapa ayat Al Qur'an tentang etika perang dan hadis Nabi tersebut oleh cendekiawan muslim dijadikan dasar rumusan Hukum Humaniter Islam (fiqh al-siyar).

Al Qur'an dan hadis yang menjadi sumber rumusan fiqh al-siyar tidak bertentangan dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang diambil dari berbagai kesepakatan dan kebiasaan internasional. Misalnya, Pasal 53 Protokol Tambahan I dan Pasal 16 Protokol Tambahan II tentang perlindungan terhadap tempat ibadah (hlm. 125).

Namun, antara fiqh al-siyar dan HHI, terdapat beberapa perbedaan. Menurut Mohd Hisham Mohd Kamal, HHI memisahkan antara norma-norma legal dan norma-norma moral. Sementara fiqh al-siyar tidak. Selain itu, konsep kepentingan militer saat perang dalam HHI bisa ditelusuri di dalam Konversi terkait seperti Konversi Jenewa, sementara konsep kepentingan militer dalam Islam belum jelas (hlm. 85).

Penjelasan di atas bukti bahwa Islam selalu selaras dengan zaman. Dengan demikian, menjadi muslim yang taat bukan berarti harus mengisolasi diri dan tidak bisa terlibat dalam kebijakan internasional yang notabene didominasi Barat. HHI yang telah diratifikasi negara-negara Islam dan mayoritas berpenduduk muslim tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Indonesia termasuk negara yang meratifikasi HHI hasil Konversi Jenewa tahun 1949. Namun sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi protokol Tambahan I dan II tahun 1977. Padahal dua protokol tersebut adalah produk hukum yang melengkapi ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949.

Protokol Tambahan I tentang "internasional armed conflict" dan Protokol Tambahan II tentang "non internasional armed conflict" diidentikkan dengan campur tangan pihak luar dalam persoalan dalam negeri. Oleh karenanya, pemerintah sampai saat ini belum meratifikasi dua protokol tersebut.

Menurut Muhammad Nur Islami dua protokol tambahan tersebut dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah perlindungan sipil dan kasus terorisme (hlm. 124). Bahkan aktivis HAM mendesak pemerintah segera meratifikasi dua protokol tambahan itu sehingga tak ada hukuman mati di Indonesia.

Uraian tentang konflik bagian dari uraian buku Islam dan Urusan Kemanusiaan. Buku terbitan Serambi setebal 413 itu juga memaparkan tentang perdamaian dan filantropi yang sekarang marak digalang lembaga kemanusiaan muslim. Buku tersebut hadir karena meningkatkannya peran aktif lembaga kemanusiaan muslim di ruang publik, tidak dibarengi dengan kajian mendalam tentang Islam dan masalah-masalah kemanusiaan, khususnya hukum humaniter. Buku itu penting dibaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar