Senin, 11 Januari 2016

Historiografi Poligami di Jawa

Judul : Sejarah Poligami
Penulis : Justito Adiprasetio
Penerbit : Ombak
Terbitan : Pertama, 2015
Tebal : xiii+156 halaman
ISBN : 602-258-334-9
Dimuat di: Majalah Gatra, 17-23 Desember 2015

Sebuah peta pergeseran praktek dan wacana poligami di Jawa dari masa ke masa. Membongkar perubahan wacana poligami karena dominasi budaya, pendidikan, regulasi, dan kuasa.

Praktik poligami (baca: poligini) telah berlangsung sebelum bangsa ini berdiri. Wacananya dari masa ke masa mengalami pergeseran. Buku ini mengkaji bagaimana poligami mulai dibicarakan dari masa pra kolonial, kolonial, dan pasca kolonial.

Justito Adiprasetio membuka wacana poligami dari abad ke-13. Pada masa Hindu, tidak ada pembeda antara perkawinan dengan satu pasangan (monogami) maupun jamak (poligami). Artinya, pada masa itu belum ada dikotomi monogami-poligami. Keduanya lebur dalam kategori pernikahan.

Undang-Undang Majapahit sekalipun mengatur perihal perkawinan, namun pasal-pasalnya tidak membicarakan praktik poligami, apalagi sampai mengatur atau bahkan melarang. Poligami berlangsung secara bebas dan bukan sesuatu yang tabu seperti saat ini. Butir-butir pasal UU Majapahit hanya mengatur pembagian warisan terkait kasta tertinggi yang memiliki empat orang istri.

Sebagaimana motif perkawinan pada waktu itu sebagai strategi kuasa, maka poligami menjadi bagian di dalamnya. Perkawinan Raden Wijaya dengan putri-putri Kertanegara mengindikasikan poligami dipraktikkan sebagai bagian dari politik perkawinan untuk melanggengkan kuasa (hlm. 65).

Sementara Islam yang mengalami infiltrasi di Jawa pada tahun 1400 membicarakan poligami. Bedanya dengan Hindu dalam praktik poligami, Islam tidak mengenal sistem kasta dengan hak-hak istimewa yang melekat. Selain itu, Islam membatasi pernikahan hanya empat istri. Islam tidak memisahkan antara posisi istri (permaisuri) dan selir sebagaimana dalam tradisi Hindu.

Namun, poligami tetap dijadikan sebagai strategi politik yang didasari atas agama, seperti Raden Patah yang memiliki tiga orang istri untuk memperkuat dakwah Islam. Ketiga perkawanannya dapat memiliki posisi penting dalam kerajaan. Istri pertama putri Sunan Ampel, istri kedua putri Randu Sanga, dan istri ketiga putri bupati Jipang (75-76).

Dengan menjadikan pernikahan sebagai strategi kuasa, bukan sebagai pemadatan cinta, maka orangtua (baca: bapak) memiliki otoritas penuh untuk memilihkan calon pasangan putrinya. Perempuan tidak memiliki kebebasan memilih dan menentukan pasangan hidupnya. Prinsip orangtua Jawa: twiting resna merga kulina, cinta datang karena terbiasa.

Seiring datangnya kolonial yang membawa modernisme, praktik poligami yang dianggap tradisional mulai dipersoalkan dan akhirnya ditentang. Dalam kerangka moralitas Eropa, poligami memang identik dengan ketidakberadaban. Etika Kristen yang monogami tetap menjadi pegangan orang Eropa yang datang ke Jawa.

Pemerintah Belanda pada akhirnya melarang para bupati atau gubernur berpoligami sejak mendeteksi korupsi yang diduga karena akibat poligami. Praktik poligami juga dituduh sebagai penyebab minimnya pajak, kurangnya jumlah tenaga, dan rendahnya pertumbuhan penduduk (hlm. 88).

Persinggungan budaya dan pengaruh pendidikan Eropa memperluas wacana anti poligami. Dibukanya pendidikan Barat bagi sebagian besar rakyat Jawa menjadi awal berpikir rasional dan modern perempuan Jawa. Sejak saat itu perempuan mulai mengimajinasikan emansipasi dan poligami dibicarakan sebagai penyebab dari ketertindasan kaum hawa.

Kartini adalah hasil produk ini. Selain lantang menolak poligami, ia lantang menolak witing tresna jalaran saka kulina. Kartini menganggap bahwa setiap perkawinan membutuhkan cinta. Artinya, cinta adalah motif yang kemudian tujuan akhirnya adalah perkawinan, bukan sebaliknya.

Kemerdekaan Indonesia memperkokoh gerakan anti poligami. Bagi Orde Baru, poligami adalah ancaman terhadap konsep keluarga dalam sistem negara integral. Pasca reformasi, poligami semakin populer dibincangkan hingga di media massa, namun lebih banyak diberitakan negatif.

Buku ini mengkaji sejarah poligami di Jawa dengan metode arkeologi. Menarik mencermati perubahan-perubahan wacana poligami dalam buku yang diadaptasi dari tesis penulisnya. Namun terlalu banyak salah ketik dan pengulangan kata dalam buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar