Selasa, 07 Juni 2016

Non Muslim di Mata Muslim Indonesia

Judul : Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia
Penulis : Rumadi Ahmad
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Pertama, Maret 2016
Tebal : 310 halaman
ISBN : 978-602–03-2502-6
Dimuat di: Koran Madura 3 Juni 2016

Relasi antar umat beragama di Indonesia masih memprihatinkan. Letupan-letupan konflik tiap tahunnya masih terjadi. Catatan Wahid Institute, meski jumlahnya dari tahun ke tahun menurun, tapi kasusnya makin menyebar. Menjelang Pilkada DKI Jakarta, isu sektarian kembali menyeruak.

Panas-dingin relasi antar umat beragama sebenarnya sudah berlangsung lama. Embrionya bisa dilacak pada perdebatan tentang sila pertama Pancasila yang hingga saat ini masih membuka tafsir. Namun pada masa Orde Baru, perseteruan berbasis agama dapat diredam sedemikian rupa atas nama stabilitas sosial-politik dan kelanggengan kekuasaan (hlm. 73).

Sekalipun pada masa Orde Baru nyaris tak ada perseteruan fisik antar umat beragama, namun dalam bentuk wacana tetap terjadi. Hal ini bisa dilihat dari fatwa-fatwa yang memperuncing hubungan antar umat beragama yang diproduksi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama 32 tahun Soeharto menjadi presiden.

Dari sekian fatwa yang menyangkut relasi antar umat beragama, fatwa pernikahan beda agama menjadi salah satu sorotan utama tiga lembaga ini. Secara umum, sekalipun metodologi pengambilan keputusan hukum (istinbath ahkam) NU, Muhammadiyah, dan MUI berbeda, namun karakternya kurang lebih sama, yaitu cenderung defensif dan eksklusif (hlm. 243).

Metodologi pengambilan keputusan hukum tiga lembaga ini memang terfokus pada teks. Kalaupun realitas faktual disebut dalam menetapkan hukum, hal itu tidak menjadi pertimbangan penting. Bahkan, realitas faktual harus tunduk pada teks. Karena sifatnya yang low in book oriented, hukum Islam terkadang menjadi kurang cakap merespons perubahan zaman (hlm. 60-62).

Namun, menurut Rumadi Ahmad, fatwa-fatwa yang memperuncing hubungan antar umat beragama tidak semata-mata dilihat dari wacana hukum Islam dengan menguji metode yang digunakan, tapi ada suasana ketegangan psikologis-historis yang turut memengaruhi. Memang ada persepsi sebagian besar umat Islam tentang agama lain sebagai ancaman. Fatwa-fatwa di atas sebagai upaya untuk melindungi umat Islam dari kerusuhan akidah (hlm. 244).

Implikasi dari fatwa di atas melanggengkan ketegangan hubungan antar umat beragama dalam masyarakat. Bahkan, fatwa-fatwa tertentu bisa mengeruhkan kehidupan masyarakat yang semula tentram. Fatwa larangan menghadiri perayaan Natal Bersama dan larangan mengucapkan “Selamat Natal” oleh MUI contoh konkret fatwa yang menimbulkan petaka terhadap bangunan kerukunan dan persatuan Indonesia (hlm. 274).

Dulu sebelum ada fatwa ini, umat Islam dan Kristen sudah biasa menghadiri perayaan Natal Bersama dan mengucapkan “Selamat Natal”. Setelah adanya fatwa tersebut, wabil khusus akhir-akhir ini di jejaring sosial, tiap menjelang 25 Desember umat Islam selalu ribut dengan kontroversi hukum mengucapkan “Selamat Natal”.

Buku ini menelaah secara kritis hasil Bahsul Masail NU, fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Fatwa MUI terkait hubungan antar umat agama. Rumadi Ahmad tak hanya mengkaji materi fatwa, tapi juga suasana batin dan konteksnya. Hasilnya, sekalipun NU dan Muhammadiyah dikenal moderat dan toleran, namun belum tercermin dalam fatwa-fatwanya ketika menyangkut non muslim.

Hasil penelitian ini memberikan masukan penting untuk memutus mata rantai terorisme. Terorisme lahir dari radikalisme. Sedangkan fatwa-fatwa relasi antar umat beragama turut menyuburkan radikalisme. Kampanye Islam damai dan toleran yang dilakukan NU dan Muhammadiyah mestinya dimulai dari fatwa-fatwa yang diproduksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar