Minggu, 21 Agustus 2016

Beretika dalam Pergaulan

Judul : Etiket dan Netiket
Penulis : Marulina Pane
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbitan : Pertama, 2016
Tebal : 172 halaman
ISBN : 978-602- 412-010- 8
Dimuat di: Harian Nasional  Sabtu-Minggu, 20-21 Agustus 2016

Kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 29 dan 30 Juli lalu, diduga berasal dari penyebaran ujaran kebencian di media sosial (medsos). Polri pun telah menangkap orang yang ditengarai menjadi penyulut kerusuhan. Namun, penyelesaian masalah melalui pendekatan hukum oleh pemerhati media sosial dinilai belum akan mengakhiri maraknya ujaran kebencian. Penindakan terhadap orang-orang yang menyabarkan ujaran kebencian hanya menyelesaikan masalah di hilir. Cara efektif untuk mengatasi masalah sampai hulu ialah literasi medsos (Kompas, 8 Agustus 2016).

Indonesia salah satu negara terbanyak pengguna internet. Menurut lembaga riset pasar e-Marketing, negeri ini menduduki peringkat ke-6 di dunia dengan jumlah populasi mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Dan diprediksi mengalahkan Jepang yang menempati peringkat ke-5 pada tahun berikutnya (Tribun Timur, 24 November 2014).

Namun, melek teknologi belum dibarengi melek literasi internet. Asumsi kebanyakan netter bahwa dunia nyata dan dunia maya (baca: medsos) adalah dunia berbeda. Akibatnya, sopan santun di dunia nyata diabaikan di media sosial. Ekspresi kebencian dengan mudah diumbar tanpa mengindahkan sopan santun.

Memang yang dilihat di layar komputer/ponsel hanyalah huruf-huruf, gambar, atau video, namun di balik itu ada seorang manusia hidup yang berhak mendapatkan respek yang sama seperti ketika bertatap muka. Artinya, di balik setiap massage ada seorang manusia (hlm. 83).

Oleh karena itu, sopan santun yang berlaku di dunia nyata tak boleh diabaikan di medsos. Bukan karena identitas tidak diketahui etika internet (netiket) bisa diabaikan. Meskipun misalnya menggunakan nama samaran atau taktik lain untuk menyembunyikan identitas, tapi bila perlu, ada ahli yang dapat menemukan jati dirinya.

Yang juga perlu disadari bahwa yang ditulis atau diunggah di internet akan tersimpan selamanya. Sekalipun pada awalnya terasa sepele namun jika dikemudian hari menuai masalah yang berurusan dengan hukum dapat menjadi bukti atau saksi.

Dalam konteks tempat kerja, sekalipun untuk internal, dari atasan ke bawahan dan sebaliknya, dianjurkan menggunakan memo maupun komentar menggunakan bahasa yang baik dan santun untuk menghindari salah pengertian (hlm. 85).

Gunakan pula huruf kecil saat menulis. Ini memang sangat sepele dan banyak yang tidak menyadari kesan dari penggunaan huruf besar pada seluruh kalimat karena mungkin bertujuan hanya untuk gaya. Dari segi etiket, penggunaan huruf besar dianggap benar-benar marah (hlm. 87).

Buku Etiket dan Netiket ini perlu dipahami benar agar kita bisa menempatkan diri di mana pun berada. Melek etiket di media sosial akan memunculkan sikap swasensor, yaitu mempertimbangkan dampak dari perbuatan terhadap orang lain. Namun pembahasan etiket dalam buku ini hanya sepintas dan tidak mendalam. Penulis lebih banyak mengelaborasi etika dalam pergaulan dan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar