Minggu, 28 Agustus 2016

Bukan Jalan-jalan Biasa

Judul : Menemukan Indonesia
Penulis : Pandji Pragiwaksono
Penerbit : Bentang
Terbitan : Pertama, Maret 2016
Tebal : 282 halaman
ISBN : 978-602-291-143-2
Dimuat di: Suluh Madura, Agustus 2016

Frasa My Trip My Adventure sangat booming. Buku catatan perjalanan dan panduan wisata menghiasi rak toko buku. Pembaca tetap memburunya meskipun itu-itu saja isinya. Membaca catatan perjalanan adalah cara lain berpelesir. Pandji Pragiwaksono dalam buku Menemukan Indonesia membawa imajinasi pembaca berwisata ke empat benua.

Buku ini menjadi istimewa karena tidak hanya menarasikan eksotisme panorama dan pariwisata luar negeri. Perjalanan Pandji dalam 365 hari di 20 kota di delapan negara di empat benua bukan jalan-jalan untuk berburu belanja atau mengusir penat. Ia membawa misi agung, yaitu mengenal atau memperkanalkan Indonesia di luar negeri.

Dalam catatan perjalanan ke Singapura, Pandji memperkanalkan masakan Indonesia di negara singa putih tersebut. Di food court ION Mall ada food stall Indonesia. Makan di sana serasa makan di tanah air. Menu yang tersedia di antaranya ayam panggang, telur dadar, dan kuah kari. Sekalipun di luar negeri harganya murah (hlm. 36).

Sementara kesan yang begitu membekas dari liburan Pandji di Sydney perjumpaan tak sengaja dengan perempuan berdarah Italia. Pramusaji sebuah restoran Italia di pelabuhan Curcular Quay itu menyapa Pandji menggunakan bahasa Indonesia. Dia fasih berbahasa Indonesia. Kepada sang pacar orang Padang dia belajar bahasa Indonesia (hlm. 72).

Pandji Pragiwaksono di Leiden, Belanda, mengunjungi Leiden University. Di universitas ini ada perpustakaan dengan koleksi sejarah Indonesia terlengkap. Di area depan kampus ada satu pojokan yang mengolesi tentang Indonesia. Dari buku-buku yang ditulis zaman dulu hingga album kaset Rhoma Irama (hlm. 179).

Pandji berusaha adil dalam menceritakan Indonesia di luar negeri. Tak ada yang ditutup-tutupi. Bukan hanya yang baik-baik yang diceritakan, yang "buruk" dari Indonesia juga diungkap. Seperti penginapan mes Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura yang memprihantinkan. Kondisinya di bawah tanah. Lorongnya gelap. Mes itu bekas kuburan (hlm. 32).

Pada bagian akhir catatan perjalanan, Pandji memberikan refleksi mengenai Indonesia. Pandji membandingkan kondisi Indonesia dengan luar negeri. Memang terkesan menjelek-jelekkan Indonesia yang masih memprihantinkan dalam berbagai sektor. Namun, gambaran situasi di luar negeri bisa dijadikan studi untuk diduplikasi di Indonesia.

Pada tahun 2014 ada 27,7 juta orang yang datang untuk berbelanja ke Hong Kong. Sedangkan Indonesia cuma 9,44 juta orang. Indonesia kalah kepada Malaysia yang mencapai sekitar 25 juta. Secara geografis, Hong Kong dan Indonesia tak jauh beda. Hongkong sejak dulu menjadi pintu masuk perdagangan di kawasan Asia Pasifik seperti Surabaya. Awalnya, Hong Kong tidak punya apa-apa, namun kini menjadi tempat belanja favorit.

Pengamatan Pandji, kekuatan Hong Kong dibanding Indonesia adalah free trade, pajak yang rendah, dan karakter kuat yang tercitra dalam berbagai macam produk budaya. Indonesia sebenarnya mempunyai semua yang Hong Kong tawarkan kecuali free trade dan pajak rendah (hlm. 60). Ini salah satu faktor Hong Kong menjadi tempat “menghabiskan” uang.

Indonesia perlu belajar terhadap Gold Coast dalam mengelola infrastuktur. Di sana trotoarnya lebar, dan tidak seperti Indonesia yang keberadaannya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka'adamihi) karena diserobot pedagang kaki lima, bangunan pertokoan, atau pengguna kendaraan.

Namun, ada juga dari negeri ini yang perlu dipelajari oleh negara lain. Pengalaman Pandji di Los Angeles, bioskop-bioskop di sana sangat jelek. Sebenarnya tidak hanya di sana. Di banyak negara yang Pandji kunjungi juga memprihatinkan. Dalam pengelolaan bioskop, mereka perlu belajar ke Indonesia.

Indonesia telah melewati masa Orde Baru yang otoriter. Sedangkan di Singapura masih berlangsung. Informasi yang Pandji dapatkan di sana, kalau ada warga ketahuan terlibat demonstrasi dipastikan tidak akan mendapat pekerjaan (hlm. 37).

Dalam buku setebal 282 halaman ini juga diselipkan penjelasan rukun traveling. Perlengkapan yang mesti disiapkan, khususnya untuk berlibur dalam jangka waktu lama seperti yang dilakukan Pandji bersama Mesakke Bangsaku Word Tour (MBWT). (TM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar