Selasa, 11 April 2017

Menguji Kebenaran Informasi

Judul : Ibn Khaldun
Penulis : Syed Farid Alatas
Penerbit : Mizan
Terbitan : Pertama, Januari 2017
Tebal : 208 halaman
ISBN : 978-602-441-003-2
Dimuat di: Kabar Madura, 10 April 2017

Tingginya angka pengguna internet di Indonesia tampaknya tidak dibarengi dengan pengetahuan etika berinternet (netiket). Indikasinya, informasi palsu atau bohong (hoax) menghiasi dunia maya. Tidak sedikit pengguna internet (netizen) yang 'termakan' hoax akibat begitu masif penyebarannya.

Untuk menguji kebenaran sebuah informasi, menurut Ibn Khaldun, pertama yang harus dipastikan terlebih dahulu apakah kejadian yang dilaporkan memang mungkin atau mustahil terjadi (hlm. 64). Apabila ada sebagian tertentu dari informasi yang tidak masuk akal, keakuratan sebuah informasi patut dipertanyakan.

Ibn Khaldun menyajikan contoh laporan bahwa Nabi Musa memiliki 600.00 atau lebih prajurit dalam pasukan Israel di gurun. Kata Ibn Khaldun, sejarawan tidak mempertimbangkan apakah Mesir dan Suriah sanggup memiliki pasukan sebesar itu. Ibn Khladun juga menaksir bahwa pasukukan sebanyak itu terlalu besar untuk berbaris dan bertempur sebagai sebuah kesatuan (hlm. 49).

Contoh lain tentang absurditas informasi sejarah adalah tentang raja-raja Tubba’ dari Yaman. Pemimpin Tubba’ terakhir, As’ad Abu Karib, dilaporkan memerintahkan menyerangan ke Turki, Persia, Bizantium, dan Cina untuk merampas harta dan wilayah. Ibn Khaldun mengkritik bahwa mustahil seorang pemimpin yang ada di semenanjung Arab dapat ke Turki tanpa melewati daerah-daerah Persia dan Bizantium dan tanpa berperang dengan mereka (hlm. 50).

Ibn Khaldun mengidentifikasi, ada tujuh sumber utama kesalahan penulisan sejarah sehingga karya historis sering dikitari oleh ketidakbenaran (hlm. 62-63). Pertama, keberpihakan terhadap pendapat dan aliran tertentu (al-syiat li al-ara wa al-mazhahib).

Kedua, kepercayaan terhadap narasumber (al-tsiqah bi al-naqilin). Selain statemen narasumber perlu dipadukan dengan data lain untuk menguji kebenaran informasi yang disampaikan, perlu juga dilakukan “kritik perawi” (al-jarh wa al-ta’dil) sebagaimana menguji kesahehan sebuah sabda Nabi Muhammad.

Ketiga, kebohongan dalam informasi tidak terhindarkan karena kurangnya kesadaran penyampai informasi tentang tujuan suatu kejadian. Laporan yang hanya berdasarkan dugaan dan tafsir pribadi akan berdampak pada lemahnya kualitas laporan. Akibatnya, kebohongan bertebaran.

Keempat, anggapan yang tak berdasar terhadap kebenaran suatu peristiwa. Ini sering terjadi dan terutama akibat ketergantungan pada narasumber tanpa melakukan kroscek dan klarifikasi.

Kelima, pengabaian kesesuaian antara keadaan dan konteks kejadian yang sebenarnya (tathbiq al-ahwal ala al-waqa’i). Banyak penyampai informasi melaporkan keadaan sebagiamana ia melihatnya, tetapi ia tidak mampu menempatkan kejadian itu dalam konteks yang tepat.

Keenam, pamrih. Banyak media penyampai informasi ingin mendapatkan perhatian/keuntungan dari laporan informasinya sehingga informasi yang disampaikan yang tidak dapat dipercaya. Ketujuh, penyebab ketidakjujuran dalam penulisan informasi adalah pengabaian kondisi masyarakat.

Buku ini memperkenalkan pemikiran Ibn Khaldun. Pemikiran “ilmu masyarakat manusia” dan metodologi penulisan sejarah penting dipelajari tidak hanya bagi pembaca yang sedang belajar Sosiologi. Ibn Khaldun, menurut Geogre Sarton, pelopor bagi Machiavelli, Bodin, Vico, Comte, dan Curnot.

Pada bagian akhir, Syed Farid Alatas, profesor Sosiologi di National University of Singapura, itu menyajikan daftar karya terbaik tentang terjemah atas karya Ibn Khaldun, serta karya-karya ilmiah yang mengulas Ibn Khaldun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar