Jumat, 11 Agustus 2017

Diagnosa Penyakit Hati untuk Kebahagian

Judul : Purification of the Heart
Penulis : Hamza Yusuf
Penerbit : Mizan
Terbitan : Pertama, Februari 2017
Tebal : 320 halaman
ISBN : 978-979-433-975-6
Dimuat di : Mata Madura 14-25 Juni 2017

Tidak sedikit orang yang dihinggapi penyakit hati namun tidak menyadari sedang sakit, sehingga tidak merasa perlu untuk segera mengobatinya. Penyakit batin memang tidak tampak dan terasa langsung seperti penyakit lahir namun juga bisa membinasakan jika terus dibiarkan. Jika menjaga kesehatan lahir penting untuk kebugaran, menjaga kesehatan batin tak kalah penting untuk kebahagian dan ketenangan.

Indikasi banyaknya orang yang menderita penyakit hati adalah suguhan berita yang kita terima setiap hari. Informasi yang kita konsumsi selalu tentang keserahakan, kebencian, pikiran negatif, merasa paling benar, dendam, dan cinta dunia, dls. Orang yang dihinggapi penyakit tersebut bukan karena kehendak namun karena tidak bisa menolak. Hidup penuh was-was orang yang menderita penyakit di atas bertentangan dengan jiwanya yang selalu mendambakan ketenangan.

Buku ini membantu pembaca mendiagnosa penyakit hati serta tindakan yang harus dilakukan untuk menghindar (preventif) atau mengobati (kuratif) penyakit dalam hati agar hidup diliputi ketenangan, ketentraman dan kedamaian yang menjadi impian semua orang. Penulis mengulas 25 jenis tanda, gejala, dan obat penyakit hati, baik yang bersifat teoritis maupun praktis.

Imam Mawlud memulai syairnya dengan mengulas adab (sopan santun) sebagai pintu masuk pemurnian hati. Pertama kali yang harus dilakukan oleh orang yang ingin memurnikan hati adalah harus memiliki adab kepala Tuhan. Menurutnya, adab ini hanya akan tercapai apabila seorang hamba memiliki rasa malu (haya’) dan kerendahan hati (dzul) [hlm. 28-29].

Untuk memiliki rasa malu dan rendah hati kita harus bersungguh-sungguh merenungkan pengawasan sempurna yang dilakukan Allah atas semua makhluk-Nya, berkah tak terkira yang Dia berikan, dan kemudian kita mengingat perbuatan yang kita lakukan di hadapan-Nya. Ketika kita telah melakukan hal itu secara sungguh-sungguh yang akan kita rasakan adalah kerendahan hati dan perasaan malu (hlm. 30).

Ketika kita menyadari rasa malu dan kerendahan hati muncullah kemerdekaan sejati, terhindar dari penjajahan hawa nafsu. Kemerdekaan sejati yang dimaksud, Hamza Yusuf mencontohkan, ketika situasi godaan muncul kita masih takut kepada Allah, teguh, dan memegang kendali atas tindakan kita. Sementara kebebasan semu adalah orang mengaku “bebas” namun tak bisa mengendalikan diri sendiri dari keserahakan ketika berhadapan dengan makanan (hlm. 31).

Penyakit kikir, serakah, benci, zalim, dengki, dll bersarang dalam hati akibat dari nafsu yang berkuasa. Nafsu mengandung benih buruk yang memiliki potensi untuk merusak hati. Sebagai obat dari penyakit di atas, Imam Mawlud menyarankan untuk menolak kemauan nafsu.

Imam Mawlud sangat teknis dan sederhana dalam memberikan jalan keluar, namun bukan hal mudah untuk dilakukan. Untuk mengobati penyakit kebencian (bughdh), misalnya, sang imam menyarankan untuk mendoakan orang yang kita benci, panjatkan permohonan khusus dengan menyebutkan namanya, memohon kepada Allah agar memberi orang itu kebaikan di dunia dan di akhirat (hlm. 51).

Sebelum memberikan terapi yang harus kita lakukan, sang imam menjelaskan akar dari timbulnya penyakit hati. Terkait dengan penyakit zalim, misalnya, beliau menggunakan metafor anggur yang sangat memabukkan sebagai ilustrasi. Oleh Hamza Yusuf, anggur metaforis ini dimaknai cinta kedudukan, yang mendorong sebagian orang untuk menzalimi orang lain (hlm. 55).

Sekalipun Imam Mawlud menjelaskan 25 penyakit-penyakit berdasarkan urutan abjad, namun antara yang satu dengan yang lain saling berhubungan pembahasannya. Terkait cinta kedudukan misalnya, penyebabnya karena didorong cinta dunia. Sementara cinta dunia didorong cinta pujian dan menyebabkan sombong dan pamer.

Dalam pembahasan tentang pamer, sang imam menyebut sumbernya adalah hasrat, menginginan sesuatu dari sumber selain Allah. Obatnya sama untuk sikap kompromi yang ceroboh, yaitu aktif dan tulus berusaha memurnikan hati dengan menghilangkan empat hal, cinta pujian, takut disalahkan, menginginkan keuntungan duniawi dari manusia, dan takut dirugikan manusia (hlm. 91).

Terkait dengan menginginkan keuntungan duniawi, Imam Maulud menyebut orang menggunakan agamanya sebagai alat untuk menunjang kondisi duniawinya sebagai orrng yang menderita penyakit “takut miskin”. Menurutnya, mengkompromikan agama untuk mencapai keuntungan duniawi sering kali karena takut miskin atau ketamakan (hlm. 86).

Buku ini merupakan penjabaran Hamza Yusuf, ulama kontemporer terkemuka asal Amerika Serikat, terhadap syair Imam Maulud yang pelik dipahami. Pembaca yang kesulitan mengakses atau memahami karya sang imam dan penjelasan sang ulama kontemporer, edisi bahasa Indonesia ini sangat membatu karena sedapat mungkin mempertahankan keindahan syair dan kedalaman maknanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar