Minggu, 24 Desember 2017

Artindjo Sosok Sakera Zaman Now

Judul : Sogok Aku, Kau Kutangkap
Penulis : Haidar Musyafa
Penerbit : Penerbit Imania
Terbitan : Pertama, 2017
Tebal : 434 halaman
ISBN : 978-602-7926-36-3
Dimuat di: Radar Madura, 24 Desember 2017

Sosok Artindjo Alkostar menjadi oase di tengah masifnya KKN yang dilakukan pejabat hampir di semua lembaga negara dan tingkatan. Melalui kekuasaan yang dimiliki sebagai ‘wakil Tuhan’, ia berusaha agar hukum selalu tajam ke atas dan ke bawah. Buku ini merekonstruksi perjalanan hidup sosok pemberani berdarah Madura tersebut.

Keberanian Altindjo mewarisi keberanian leluhurnya yang menjadi tokoh leganda dan simbol karakter masyarakat Madura, Sakera. Kalau Sakera keras kepada penjajah asing, Artindjo keras kepada penjajah dari dalam negeri. Kalau Sakera ditakuti Belanda, Artidjo paling ditakuti koruptor. Sayang, penulis tidak mengeksplor lebih detail silsilah keluarga Altindjo hingga sampai ke Sakera.

Pak Durah dan Ny. Hakim (orangtua Artidjo) menanamkan karakter Sakera sejak Artidjo kecil. Setelah mendengar kisah keluhurnya yang mati di tiang gantung karena kegigihannya membela kepentingan rakyat kecil, Artidjo optimis bisa berkiprah seperti Sakera. “Pasti jika sudah besar nanti aku bisa jauh lebih hebat dari Sakera,” kata Artidjo muda (hlm. 45).

Keberpihakan Artindjo kepada rakyat kecil sudah terlihat dari pilihan ekstrakurikuler di bangku SMA. Ia memilih ekstrakurikuler pertanian sekalipun orangtuanya lebih sreg ekstrakurikuler lain. Alasan Artidjo memilih ekstrakurikuler pertanian agar kelak bisa membantu petani bercocok tanam sehingga hasil pertaniannya meningat.

Keseriusan Artidjo ingin membantu petani dilanjutkan dengan hendak mendalami ilmu pertanian di Fakultas Pertanian UGM. Namun, cita-cita tersebut tidak kesampaian sehingga terpaksa banting setir ke Fakultas Hukum UII. Mula-mula, Artidjo memang kurang sreg dengan pilihan tersebut namun akhirnya ditekuni secara serius.

Sekalipun tidak bisa membantu petani di bidang pertanian, Artidjo menggunakan pengetahuan hukum yang dimiliki untuk membantu rakyat kecil. Saat pemerintah memaksa dan mewajibkan para petani di Sumenep menanam tebu, Artidjo turut mengadvokasi warga. Artidjo sendiri sampai harus berurusan dengan hukum karena dinilai berusaha menghasut rakyat untuk melawan kebijakan pemerintah.

Keterlibatan Artidjo mendirikan dan menjadi pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta membuat kiprahnya membela rakyat kacil semakin intens, seperti membela kaum pinggiran, korban PHK, dan orang miskin yang berurusan dengan hukum (hlm. 307). Selain itu, Artidjo menangani berbagai macam kasus pelanggaran HAM seperti petrus.

Tidak puas membela rakyat kecil melalui wadah LBH, setelah purna tugas menjadi Direktur LBH Yogyakarta, Artidjo mendirikan Artidjo Alkostar and Associates. Lembaga hukum yang Artidjo dirikan turut serta menyelidiki dan memberikan pembelaan kepada para korban Insiden Santa Cruz yang terjadi di Dili, Timor Timur, di pengujung tahun 1991.

Terakhir, pembelaan Artidjo terhadap rakyat kecil terlihat melalui ketok palunya yang selalu memperberat hukuman koruptor. Artidjo berkesimpulan bahwa tidak ada satu negara pun di muka bumi ini yang tidak akan hancur jika korupsi sudah merajalela.

Haidar Musyafa mengutip pandangan Artidjo tentang korupsi. “Korupsi itu tidak hanya sebatas pada hilangnya uang negara, tapi maksud dari korupsi yang sebenarnya itu adalah suatu tindakan pelanggaran HAM. Hal itu tak lain karena dampak dari korupsi itu membuat kehdupan bernegara, utamanya bagi masyarakat bawah akan semakin menderita.” (hlm. 431).

Jika perjuangan Sakera penuh dengan darah bahkan harus mengembuskan napas secara tragis, yang diperjuangkan Artidjo tak kalah berat. Beberapa kali mau ditembak, namun nyalinya tak ciut untuk memperjuangkan rakyat kecil. Baginya, lebih baik putih tulang daripada putih mata. Lebih baik mati daripada harus menanggung rasa malu mendiamkan ketidakadilan.

Dalam setiap lembar halaman novel biografi Artidjo Alkostar ini, pembaca disuguhi karakter-karakter khas Madura. Semoga dari kisah novel setebal 434 halaman ini lahir Sakera dan Artidjo baru dari anak kandung era milenial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar