Tampilkan postingan dengan label pesantren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pesantren. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 Desember 2015

Berbisnis ala Kaum Sarungan

Judul: Ketika Santri Berbisnis
Penulis: Afik Canggih
Penerbit: Gramedia
Terbitan: Pertama, 2015
Tebal: 149 halaman
ISBN: 978-602-03-2012-0
Dimuat di: Harian Nasional 12-13 Desember 2015

Sebagian kalangan membedakan pendidikan pesantren dan non pesantren secara simplistik. Pesantren dicirikan dengan tempat berlatih ibadah, mencari pahala, dan hal-hal yang bersinggungan dengan akhirat. Sementara institusi pendidikan non pesantren dicirikan dengan sarana mencari uang, jabatan, bisnis, dan hal-hal yang bersinggungan dengan urusan dunia.

Karena orientasi pendidikan pesantren semata-mata mengumpulkan bekal akhirat, mengobrol soal uang, bisnis, dan kaya menjadi tabu. Santri tidak perlu memikirkan dan membincang apalagi sampai berkeinginan menjadi orang kaya. Ditambah lagi pemahaman bahwa banyak harta sama dengan cinta dunia (hubbun dunya).

Pemahaman sempit dan kaku seperti di atas digambarkan dengan tokoh bernama Alfi, santri penghafal Al Qur'an yang awam ilmu bisnis. Obrolan Alfi dengan Afik, santri pengusaha yang awam ilmu agama, di sebuah mal membuat Alfi sadar bahwa urusan dunia ternyata ada hubungannya dengan akhirat. Harta tidak selamanya jahat dan orang yang banyak harta belum tentu cinta dunia. Alfi menjadi sadar bahwa santri bukan hanya tak boleh miskin, tapi harus kaya setelah melaksanakan shalat.

Afik lalau mengusahkan pemilik waralaba "Ayam Bakar Mas Mono". Agus Pramono atau yang akrab dipanggil Mas Mono. Mas Mono menerapkan peraturan kalau ada karyawan yang tidak shalat dhuha, dianggap tidak hadir (hlm. 53).

Sejak saat itu, Alfi antusias belajar bisnis kepada Afik. Afli semakin semangat menjadi pengusaha kaya setelah mengetahui ternyata para ulama tempo dulu telah mencontohkan. Disela-sela kesibukannya berdakwah, mengajar, dan membimbing umat, mereka menjalankan bisnis. Hidup mereka mandiri dengan berbisnis, tak bergantung pada orang lain apalagi uluran tangan pemerintah.

KH. Hasyim Asyari yang oleh publik dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama adalah pengusaha batik. Sementara KH. Ahmad Dahlan yang dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah adalah pengusaha properti (hlm. 20). Namun, tak banyak santri dan jamaah dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia ini yang mengikuti jejak pendiri NU dan Muhammadiyah.

Bisnis yang dibuat untuk memberi manfaat maka rezeki akan datang dengan sendirinya (hlm. 42). Ini dicontohkan dalam kisah pengusaha properti Mas Elang Gumilang. Berbeda dengan pengusaha properti lainnya, ia tidak pasang target pasar atas dan tidak pula berpikir bisa ambil untung banyak sekalipun bisa saja melakukannya. Mas Elang berempati memikirkan orang miskin yang rata-rata tinggal di gerobak. Bisnis propertinya dikhususkan untuk mereka. Efeknya sekarang omzetnya miliaran.

Afik berkeyakinan bahwa Allah akan memberikan keuntungan kepada orang yang memudahkan urusan orang lain. Jika ingin sukses dalam bisnis maka jangan sekadar menumpuk materi tapi harus berbagi. Alfi menimpali mengutip ayat Al Qur'an: in tanshurullah yansurkum, jika kamu menolong Allah maka Dia akan menolongmu (hlm. 44).

Alfi juga diingatkan untuk tidak memusuhi kompetitor. Menurut Afik, kompetitor membawa berkah. Foto polaroid pada tahun 90-an gagal memenuhi pasar tentang pentingnya foto instan karena minusnya pesaing yang sebenarnya bisa jadi mitra dalam memengaruhi pasar akan pentingnya foto instan (hlm. 19).

Buku Ketika Santri Berbisnis menyuntikkan semangat betapa pentingnya orang pesantren melakukan wirausaha, apalagi tidak lama lagi akan menghadapi MEA. Dikemas dengan cerita ringan dan santai melalui obrolan Afik dan Alfi namun begitu menyentuh dan "menampar" umat Islam.

Senin, 08 Juni 2015

Pendidikan Karakter ala KH. Saifuddin Zuhri

Judul :KH. Saifuddin Zuhri Mutiara dari Pesantren
Penulis :Rohani Shidiq
Penerbit : Pustaka Compass
Terbitan : Pertama, April 2015
Tebal : XXII+152 halaman
ISBN : 978-602-14673-7-4
Dimuat di: Koran Jakarta

KH. Saifuddin Zuhri 30 tahun yang lalu telah mengatakan pentingnya pendidikan karakter agar negeri ini tidak hanya dihuni oleh orang yang pintar otaknya tapi mental dan spiritualnya rapuh. Menurutnya, korupsi dan segala bentuk penyimpanan terjadi disebabkan kepintaran yang tidak dikendalikan oleh akhlak.

Pendidikan yang hanya memusatkan perhatian pada kecerdasan intelektual diibaratkan sebuah rumah sakit dengan bangunan gedung kokoh megah dan serba dilengkapi dengan fasilitas modern tapi penghuninya hanya orang sakit. Agar negeri ini sehat, penghuninya harus memiliki kecerdasan intelektual, dengan ditopang kecerdasan spiritual dan emosional.

Inti penting pendidikan menurut KH. Saifuddin Zuhri mencakup tiga hal sesuai dengan anatomi manusia. Pertama, pendidikan jasmani agar siswa memiliki tubuh sehat, cekatan dan riang gembira. Kedua, pendidikan otak agar siswa memiliki kecerdasan berpikir dan mempunyai ilmu pengetahuan. Ketiga, pendidikan rohani agar siswa berakhlak mulia (hlm. 81).

Dalam mewujudkan pelajar yang beriman dan bertakwa (imtak) serta berilmu pengetahuan dan menguasai teknologi (iptek), dibutuhkan kerja sama yang baik antara guru dan orang tua. Urusan pendidikan tak cukup sepenuhnya dipasrahkan kepada guru di sekolah. Pendidikan yang ideal harus dilakukan oleh sekolah dan masyarakat atau dilakukan oleh guru dan wali siswa (hlm. 85).

KH. Saifuddin Zuhri sangat detail memerinci tugas guru dan orang tua siswa. Katanya, tugas guru selain menyampaikan pelajaran juga mendoakan keberhasilan siswanya. Adalah suatu kemustahilan bahwa usaha tanpa dibarengi dengan doa akan mencapai keberhasilan yang sempurna.

Sementara tugas orang tua terhadap anaknya salah satunya adalah memberi perha- tian. Ia mencontohkan mengantar dan menjemput anak salah satu wujud perhatian orang tua terhadap anak (hlm. 85). Juga bisa memanfaatkan waktu di sela- sela makan bersama untuk memberikan perhatian terhadap prestasi anak dengan meminta menceritakan pelajaran yang diterima (hlm. 87).

Orangtua juga perlu mengarahkan waktu anak-anak selama di rumah. Menurut KH. Saifuddin Zuhri, secara garis besar waktu anak- anak dibagi menjadi empat macam, yaitu waktu bermain, waktu membantu pekerjaan orang tua, waktu untuk belajar, dan waktu untuk istirahat (hlm. 88).

Anak perlu diberi waktu bermain agar pertumbuhan rohani, jasmani, dan pikiran rileks. Dari bermain anak memperoleh pengalaman dari berinteraksi dengan teman-temannya. Namun harus tetap dibatasi dan dalam pengawasan orang tua agar tidak ter- jerumus kepada hal-hal yang negatif (hlm. 88).

KH. Saifuddin Zuhri memberikan kritik membangun terhadap ketakutan orang tua ketika anaknya bermain. Orang tua mengekang anaknya bermain sesuai pada hakikatnya sebenarnya ekspresi cinta. Namun cinta yang diekspresikan bukan pada tempatnya akan membuat anak trauma. Oleh kar- enanya, anak perlu diberi kebebasan bermain namun tetap dalam peng- awasan (hlm. 90).

Anak juga penting dibiasakan membantu pekerjaan sehari-hari orang tua. KH. Saifuddin Zuhri menyontohkan menjaga toko, membantu di salah, maupun pekerjaan-pekerjaan rumah. Tujuannya mendidik anak mencintai pekerjaan, bukan memperlakukannya sebagai pekerja atau buruhnya (91).

Pemikiran pendidikan KH. Saifuddin Zuhri sangat penting dikaji dan kontekstual seiring dengan maju mundurnya penerapan Kurikulum 2013 yang notabene berbasis karakter.