Senin, 31 Agustus 2009

(Maha)siswa dan krisis budaya menulis

“Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah” (Pramoedya Ananta Toer).

Begitulah kata-kata Pramoedya Ananta Toer. Karena dengan menulis berarti ia telah menyisakaan kenangan yang cukup kepada masa yang akan datang. Seorang penulis akan hidup selamanya walaupun jasadnya telah tiada, selama karya-karyanya masih bisa dibaca dan dimanfaatkan oleh orang lain.

Kalau menghitung keuntungan, menjadi penulis sangat beruntung, karena seorang penulis mendapatkan beberapa keuntungan yang diperoleh secara ganda. Dari segi finansial, seorang penulis yang rajin menulis dan sering dipublikasikan di media-media (cetak atau eletronik), dengan sendirinya akan mendapatkan honor dari media tersebut tanpa harus diminta dan dipaksa. Itulah pendek kata dari keuntungan yang diperoleh seorang penulis yang bersifat finansial. Sekedar menyebut contoh, Habiburrahman El Shirazy lewat buku mega bestseller-nya, Ayat-Ayat Cinta (AAC), telah menerima Rp 1,5 miliar untuk ratusan ribu buku yang terjual kurang dari empat tahun. Lain lagi dengan, Mohammad Fauzil Adhim dengan bukunya Kupinang Engkau dengan Hamdalah, yang telah terjual 100.000 eksemplar. Ada kabar, beliau mendatangkan royalti antara Rp 15 juta - Rp 25 juta per bulan (http://opinibebas.epajak.org), dan masih banyak keuntungan lain yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat duniawi.

Sedangkan keuntungan yang bersifat ukhrawi (akhirat), dengan menulis dan rajin mengirimkan naskah ke media atau penerbit lalu dimuat, secara tidak langsung telah mengajar dan menularkan ilmu kepada orang banyak dalam waktu sekejap tanpa harus mendatangi mereka satu persatu. Tanpa disadari dan tidak langsung, sang penulis mendapatkan pahala dari pembaca tanpa mengetahui dan mengenal orangnya. Sebagai perbandingan saja, kalau para syuhada’ sudah dijamin masuk surga karena membela diri supaya badannya terlindungi, apalagi dengan penulis yang tidak kalah dengan para syuhada’ dalam berjuang, yaitu melawan kebodohan.

Kalau mengaca kepada tulisan diatas, sangat mudah menjadi orang kaya tanpa harus banting tulang sana sini, cukup dengan mengandalkan otak, buku dan pena (komputer/laptop) untuk menuangkan gagasan, juga sangat mudah untuk masuk surga tanpa harus repot-repot bangun malam dan memperbanyak ibadah. Sebagaimana penulis sebutkan, dengan menulis dan orang membaca tulisan kita, secara tidak langsung penulis mendapatkan pahala yang tidak kalah dengan orang yang rajin dan istiqamah ibadah setiap hari dan malamnya. Menghilangkan kebodohan orang lain untuk menjadi orang baik, menurut penulis lebih baik daripada hanya ibadah, tanpa memerhatikan nasib generasi yang akan datang.

Tapi, saat ini sekalipun universitas dan sekolah bertambah dan bertebarak ke pelosok-pelosok, (maha)siswa yang rajin menulis masih sangat minim ketimbang melonjaknya jumlah (maha)siswa saat ini. Padahal kalau diukur dengan mahasiwa era sembilan puluh-an, dizaman melenium ketiga ini sudah tidak ada hambatan lagi untuk menulis, saat ini pers sudah terbuka lebar untuk seluruh umat manusia yang berminat untuk menyampaikan gagasan, menularkan ilmu dan sheering dengan orang lain, ditambah lagi dengan fasilitas yang sangat memadai. Berbeda dengan era sembilan puluh-an yang harus berjuang mati-matian untuk menyampaikan gagsannya melawan pemerintahan yang otoriter.

Sebagai ajang untuk permulaan belajar, saat ini sudah ada mesin ketik/komputer yang sanagt mudah didapatkan, internet dan blog yang diberikan secara cuma-cuma (gratis), sebagai contoh di lingkungan PP. Annuqayah Guluk-Guluk: Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA) punya Jurnal FAJAR, MA 1 Annuqayah punya Majalah PENTAS, SMA 1 Annuqayah punya Majalah TAFAKKUR, MA Tahfidh Annuqayah punya Majalah INFITAH, Pemerintah Daerah Sumenep punya Tabloin INFO Sumenep, DPRD Sumenep punya Jurnal PARLEMEN. Di Institut Teknologi Bandung (ITB) terdapat 32 jurnal ilmiyah, bahkan ada yang sampai bertaraf internasional. Universitas indonesia menelola 34 jurnal ilmiyah (Kompas 12 Agustus 2009). Masih kurang apalagi untuk memulai menulis.

Sekarang yang perlu menjadi PR bersama, bagaimana untuk membudayakan dunia tulis menulis. Untuk tahap awal dan percobaan, bisa meniru negara tetangga seperti yang terjadi di Jepang, terdapat kewajiban bagi mahasiswa program doktoral untuk mempublikasikan karyanya ke jurnal ilmiyah minimal dua kali sebagai syarat untuk sidang doktoralnya. (Kompas 11 Agustus 2009) Wallahu a'lam.

1 komentar:

  1. udah konsisten anda menulis? anda sekarang sebagai mahasiswa. jangan cuma nulis d block ya?

    BalasHapus