Senin, 31 Agustus 2009

Rakyat kecil hanya diberi impian sekolah gratis

Akhir-akhir ini wali para siswa dan mahasiswa direpotkan dengan persiapan putra-putrinya untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, mulai dari pemilihan sekolah yang dipandang layak sampai biaya pendidikan yang tidak begitu memberatkan.

Orang tua (baca:wali) yang ekonominya menengah keatas berduyun-duyun memilihkan sekolah untuk masuk sekolah faforit, yang identik dengan biaya pendidikan yang mahal, berangkat dari kesadaran mereka, bahwa suramadu akan membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat madura, sehingga anak-anak (baca:siswa dan mahasiswa) sebagai generasi bangsa harus betul-betul dipersiapkan sejak saat ini untuk menjawab problem dan tantangan yang semakin komplek dimasa yang akan datang.

Bagi orang tua yang ekonominya menengah keatas tidak ada persoalan dengan biaya pendidikan yang mahal, karena ada penghasilan yang bisa dicadangkan untuk membiayai sekolah anaknya. Tapi permasalan yang harus diperihatinkan adalah orang tua yang dalam kesehariannya hidup serba pas-pasan, sehingga bingung anaknya harus masuk sekolah apa? Karena tidak ada yang dapat diandalkan kecuali hanya anganan dan hayalan belaka, supaya anaknya mendapatkan sekolah yang layak dan dapat mengantarkan kepada cita-cita masa depannya sehingga menjadi orang yang sukses, sebagaimana teman-teman lain yang mendapatkan pendidikan yang cukup.

Sekolah favorit dalam menyeleksi siswa bukan hanya melihat dari kecerdasan intelektual yang dimiliki calon siswa baru, secara tidak langsung, faktor ekonomi juga menjadi terseleksi dengan sendirinya, karena siswa yang memiliki uang yang kurang cukup tidak mungkin melanjutkan sekolah.

Sekalipun ada beasiswa yang disubsidi sekolah atau pemerintah, beasiswa hanya menguntungkan segelimtir orang saja yang belum tentu berangkat dari keluarga yang tidak mampu, walaupun sama-sama memiliki kemampuan yang lebih. Bahkan beasiswa mudah didapatkan dengan hanya menyempaikan permohonan beasiswa yang disertai dengan surat keterangan tidak mampu sekalipun tidak memiliki skil dan kemampuan yang memadai.

Ketika hal itu terjadi, bagaimana dengan nasib siswa yang tidak terdeteksi memiliki skil dan kemampuan yang bisa diandalkan tapi ia tidak mendapatkan pendidikan yang layak karena faktor ekonomi yang tidak cukup, Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap PR ini? Orang tua sebagai pengayom sudah tidak mampu lagi untuk membiayai pendidikannya, karena kehidupan yang menghimpit serba pas-pasan, makanan untuk besok, hari ini belum ada persediaan apalagi untuk biaya sekolah yang mahal.

Rakyat kecil jangan hanya saja diberi impian dan harapan dengan biaya sekolah yang gratis, tapi faktanya dilapangan para siswa masih ditarik uang buku dan lain sebagainya seperti yang dialami oleh Jamal dan Ijah (warga sukamulya, ciputat timur, kota tangerang selatan, banten) Kompas 24 juli 2009.

Orang tua sangat bangga dengan kabar sekolah gratis, tapi setelah mereka mengetahui, yang gratis hanya SPP, kepedihan yang menimpanya lebih berat lagi dan mereka sangat kecewa dengan kabar sekolah gratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar