Selasa, 15 September 2009

Idul Fitri, Hari Kemenangan yang Gagal

Setelah satu bulan penuh-selama bulan ramadhan-berjihad melawan hawa nafsu dan teman-teman yang lain, umat islam diseluruh penjuru dunia merayakan hari kemenangan dengan penuh senang dan gembira karena telah sukses berperang sampai batas finis. Entah apakah berhasil melawan hawa nafsu untuk menaklukkan hati atau tidak, tapi yang pasti setiap selesai bulan ramadhan pada keesokan harinya umat islam melaksanakan hari kemenagan.

Saat melaksanakan hari kemenangan (idul fitri. Red.), banyak orang awam yang tidak mengerti apa hakikat puasa yang dilaksanakan satu bulan penuh, sehingga harus dibentengi dan dijaga dari hal-hal yang akan menghancurkannya. Pasalnya, pada hari raya banyak orang awam yang tampil nicis dengan pakaian-mulai ujung rambut sampai kaki-yang serba baru, padahal baru melaksanakan puasa.

Bukankah banyak jalan untuk menampakkan kegembiraan di hari raya, apakah satiap orang yang hadir dengan pakaian baru untuk melaksanakan sholat i'dh dijamin gembira, soal gembira tidak tergantung ketentraman hati, sekalipun pakaiannya baru dan mahal tapi hatinya tidak tentram apalah sebuah arti baju baru, seseorang tidak dapat di prediksi dari luarnya saja.

Memakai baju baru saat hari raya sangat disunahkan, tapi layakkah kita dikatakan orang yang menang sehingga dengan saking gembiranya memakai baju baru, sedangkan saudara dan tetangga disekitar rumah masih saja tetap dilanda kemiskinan yang hatinya penuh dengan tusukan-tusukan. Bukankan tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah, tidakkah kita sebagai orang yang menduduki strata sosial yang sudah mendingan mampu wajib menyantuni orang-orang yang tidak mampu, mana lebih utama mengerjakan fardu dengan sunah.

Puasa hampir kehilangan ruhnya, hakikat puasa yang mengajarkan kesederhanaan dan sedikit merasakan hidupnya orang yang serba kekurangan tidak diambil hikmahnya, puasa hanya diterjemahkan sebatas tidak makan, minum dan dan hubungan intim pada siang hari bolong. Sebagaimana penulis katakan, puasa yang memerintahkan untuk menahan diri dari makan dan minum untuk merenungi bagaimana kehidupan orang yang penuh dengan kekurangan yang hidupnya dalam tiap harinya penuh dengan jeritan dan penderitaan.

Saat ini mencari orang yang peduli kepada nasib sesama sudah mulai memudar, konsep ta'awan (tolong menolong) dalam islam sudah hampir punah, kenyataannya menjelang hari raya orang-orang berduyun-duyun ke pasar menmbeli baju baru untuk hari raya padahal tetangga dan sekitar rumahnya tidak punya beras untuk dimakan apalagi sampai untuk membeli pakaian baru.

Sebelum kaki melangkah untuk pergi sholat i'dh dengan pakaian baru, sedikit kita melirik apakah kanan kiri rumah sudah punya beras untuk dimasak pada hari kemenangan (idul fitri. red) ini. Kenapa harus berpakaian baru, bukankah Rasulullah telah berabda “laiya al i'dz ilman labisa al jadid, walakinna al i'dh liman ta'atuhu tazidu”.

Ukuran sukses tidaknya seseorang melaksanakan ibadah puasa, bukan diukur dari luarnya, tapi dari dalamnya ada sedikit tanda-tanda yang bisa dilihat, pasca ramadhan bagaimana sikapnya, tambah baik atau tambah buruk, semakin rajin membantu tetangga atau sebaliknya. Saat ini orang-orang kelaparan masih tetap tidak dapat dihitung dengan jari saking banyaknya. Benarkah umat islam Sudah menang sedangkan tetangga masih menjerit kelaparan? Wallahu a'lam.

1 komentar:

  1. stuju om,banar2 gagal dan nga pernah mau berubah,gitu2 aja,siapa yang salah ya om...? :(

    BalasHapus