Selasa, 15 Desember 2009

Jihad Memperjuangkan Negeri Santri

M. Kamil Akhyari

Kanjeng Nabi Muhammad saw pernah bersabda dalam salah satu kesempatakan kepada para sahabat untuk menghormat yang lebih tua (baca:dewasa) dan menyanyangi yang lebih muda. Kalau kita tilik perintah meghormat yang lebih tua dan menyanyangi yang lebih muda terkandung kedisiplinan antar sesama umat manusia, sehingga yang lebih dewasa ditokohkan untuk dijadikan contoh karena lebih banyak “mencicipi garam” kehidupan ini dan yang muda di kasihani karena masih lemah dan belum bisa berbuat banyak sehingga membutuhkan uluran tangan orang yang lebih dewasa. Dan dalam kesempatan yang lain nabi Muhammad pernah bersabda “keselamatan seseorang terletak sejauh mana ia bisa menjaga lidahnya”.

Madura mayoritas penduduknya adalah muslim sehingga panutan yang mereka jadikan contoh Nabi Muhammad saw, nabi yang membawa risalah kepada umat manusia dari ujung barat sampai ujung timur untuk mengarahkan umatnya kepada jalan yang benar sehingga menjadi orang yang sukses di dunia sampai di akhirat.

Perkataan orang yang menjadi panutan tersebut, hadits nabi (menghormat yang lebih dewasa dan menyanyangi yang lebih muda) selaras dengan falsafah madura bhu', pa', bhabhu', ghuru, rato (ibu, bapak, sesepuh, guru, raja). Falsafah tersebut kalau di tarik lebih luas bukan hanya kepada kedua orang tua, guru dan raja yang harus menghormat tapi juga kepada orang yang lebih dewasa.

Seiring perkembangan zaman, falsafah tersebut sudah mulai luntur dan asing di kalangan pemuda madura, sehingga tidak jarang mendapatkan pemuda yang berani melawan dan memukul orang tuanya karena mereka tidak tahu falsafah madura tersebut.

Sedangkan hadits keselamatan seseorang terletak sejauh mana ia bisa menjaga lidahnya, di terjemahkan dalam perkataan mereka sehari-hari, banyak tingkatan bahasa yang di gunakan sebagai simbol untuk menghormati orang lain. Sekedar menyebukan contoh. Bahasa maduranya “kamu” kepada orang yang lebih tua “ajunan”, berbeda dengan orang yang sejajar tingkatan dan usianya yaitu “tikah”, sedangkan kepada anak-anak “sampean”.

Madura dan Industrialisasi

Di zaman yang semakin modern dan global ini madura di hadapkan pada satu problem dan di tuntut cerdas menyelesaikan problem tersebut dengan kreatif. Akses menuju madura saat ini semakin mudah dengan jembatan yang melintang yang menyatukan Surabaya dan Madura yang dikenal dengan jembatan suramadu, sehingga orang-orang luar sangat mudah untuk keluar masuk madura dengan tujuan yang beragam; mulai dari niat bisnis sampai niat ingin menjajah intelektual penduduk madura.

Kalau kita amati di bangku-bangku sekolah, pelajaran-pelajaran seputar kebudayaan madura (seperti bahasa madura) tidak mendapatkan ruang yang begitu cukup di dalam kelas untuk di transformasikan kepada peserta didik. Terbukti dengan hanya siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang mendapatkan materi bahasa madura, itupuh tidak sampai 50% jam pelajaran/ tatap muka jika dibandingkan dengan materi Ujian Nasional (UN) seperti Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa ingris.

Padahal tunas-tunas madura masih banyak yang belum mengetahui kebudayaan madura sekalipun sudah SLTA bahkan mahasiswa, kapan pemuda madura akan latihan dengan kebudayaanya kalau belum dikenalkan. Kita sering melihat anak muda yang sudah berani melawan orang tuanya, kala pemudanya seperti ini mana budaya relegi madura sehingga dikenal dengan negeri santri.

Saat ini pembangunan industrialisasi madura belum selesai, pemudanya sudah tidak kenal kebudayaan madura, kalau kita berandai-andai sepuluh tahun yang akan datang kebudayaan madura akan musnah dan terkubur karena tidak adanya tenaga pendidik yang profesional untuk mengajarkan kebudayaan madura. Konsekuensinya kalau problem ini tidak segera teratasi, tidak lama lagi madura akan kehilangan jargonnya sebagai negeri santri.

Selain dikenalkan dengan kebudayaan yang kita miliki. Madura yang mayoritas penduduknya menganut NU, pemudanya harus di bentengi dengan nilai-nilai NU yang diterjemahkan pada faham ahlussunnah wal jamaah, karena di zaman yang global ini sabda nabi Muhammad SAW yang menyebutkan kelak umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu ke-shoheh-annya sudah bisa dibuktikan.

Akhir-akhir ini marak faham-faham yang berlabelkan islam yang “pohon” besarnya dapat dibedakan menjadi dua bagian; islam fundamintal-konservatif dan islam liberal-progresif yang basis garapannya adalah pemuda dan mahasiswa sebagai tunas bangsa dan generasi yang akan datang.

Kala pemuda madura terperangkap pada dua “pohon” tersebut, pikiran mereka tidak akan moderat (tawasut) lagi sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam ahlussunnah wal jamaah, karena mereka akan di doktrin dengan faham ekstrim yang kedua-duanya tidak cocok untuk di tempatkan di madura.

Islam fundamintal-konservatif ingin mendirikan negara islamiyah sebagaimana pemerintahan pada masa nabi Muhammad yang hal itu sebenarnya tidak akan pernah terwujud karena selain letak giogrifis yang membedakan antara Mekah dan Madura. Masyarakat madura ini terdiri dari ras, suku bangsa, dan agama yang berbeda, sehingga mereka tidak bisa di seragamkan.

Sedangkan islam yang satunya, liberal-progresif, terlalu bebas dalam menterjemahkan konsep toleransi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Faham ini juga tidak cocok di tempatkan di madura karena bersebrangan dengan kondisi madura yang penuh dengan nilai-nilai relegius.

Industrialisasi ini sangat mudah untuk di jadikan ajang dalam menanamkan benih-benih faham keagamaannya di madura dengan beberapa langkah cerdas yang mereka lakukan untuk menarik simpati pemuda. Disinilah peran IPNU-IPPNU untuk membentengi anak muda dari serangan-serangan faham tersebut dengan faham ahlussunnah wal jamaah secara kreatif dan cerdas.

IPNU-IPPNU dan Madura

Seluruh organisasi yang terdapat di madura yang ladang basahnya pemuda harus memperjuangkan kebudayaan madura tersebut, lebih-lebih Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) daerah Madura yang telah di beri mandat oleh NU untuk mengurus pelajar sebagai kader NU daerah Madura.

IPNU dan IPPNU sebagai banom NU yang berasaskan ahlussunnah wal jamaahbhu', pa', bhabhu', ghuru, rato (ibu, bapak, sesepuh, guru, raja). Yang selaras dengan ajaran islam untuk menghormat yang lebih tua dan menyanyangi yang lebih muda. harus memperjuangkan kebudayaan madura tersebut karena selain mayoritas madura adalah basis NU, tidak sedikit dari kebudayaan madura yang sejalan dengan ajaran islam yang menjadi rujukan NU sendiri. Seperti falsafah madura

Selain dari kebudayaan madura sejalan dengan ajaran islam, NU punya hutang budi kepada madura, pasalnya kalau kita tilik sejarah KH. Hasyim Asy'ari (pendiri NU) pernah nyantri ke Madura tepatnya di Bangkalan. Bagaimanapun orang-orang NU harus turut mempertahankan kebudayaan tempat belajar dan menimba ilmu pendirinya tersebut. Karena menurut Mien Ahmad Rifai, agaknya tidak mungkin akan ada sebuah perguruan keagamaan yang disegani dan berdampak besar serta luas kalau keadaan keislaman masyarakat madura saat itu tidak mendukung. (Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura, 2007, Hal : 43). Wallahu a'lam.

*) Tulisan ini sebagai syarat mengikuti Diklat Jurnalistik PW IPNU-IPPNU Jawa Timur Kerjasama dengan KOMPAS 11-13 Desember 2009.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar