Senin, 07 Desember 2009

Bekal Smart Saja tidak Cukup

Oleh : M. Kamil Akhyari

Berbicara soal remaja tidak pernah ada habisnya karena selain remaja masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa, dalam diri remaja terdapat banyak problem. Baik yang berasal dari dalam dirinya sendiri, lingkungannya, maupun interaksi remaja keadaan sosialnya.
Setiap orang tua pasti menginginkan putra-putrinya menjadi manusia yang cerdas dan pintar, sehingga setelah dewasa menjadi insan kamil dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki semasa anak-anak dan remaja. Sehingga tidak jarang orang tua “rebutan” mendorong dan memilihkan putra-putrinya ke sekolah faforit yang di lengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menjadi pelajar (remaja) yang cerdas dan pintar dan pada giliran selanjutnya setelah dewasa menjadi manusia yang “sempurna”.
Namun, akhir-akhir ini bayangan itu gagal terwujud karena cerdas yang ada di bayangan orang tua sering diidentikkan seorang dengan kadar intelektual bagus, jenius, briliyan dan luar biasa, serta mempunyai prestasi akademik yang ‘mencengangkan’. Baromenet orang tua hanya terbatas sampai disitu sehingga putra putrinya hanya di arahkan bagaimana untuk mendapatkan nilai yang sempurna dan tropi sebanyak mungkin, sedangkan masyarakat menginginkan remaja yang lebih dari sekedar cerdas dengan nilai akademik yang tinggi, prestasi yang menjulang dan bermasa depan cerah.
Dampak dari pemahaman cerdas yang sangat sempit ini, remaja hanya mengandalkan intelektual sehingga kemampuan mengenal, mengolah, dan mengungkapkan perasaan menjadi terkubur dalam-dalam. Akibatnya, ia menjadi tak bahagia bahkan sering mengalami gagap sosial, karena kemampuan yang dimiliki hanya bersifat akademisi, meresahkan masyarakat, bahkan sering tidak mendapatkan pengakuan dari lingkungan karena ulahnya yang meresahkan. Sekalipun pendidikan formal tidak dapat dipungkiri akan tetapi remaja tidak harus di arahkan kesana.
Sekedar menyebut contoh, Jawa Pos (2/11/2009) menurunkan berita penggerebekan dua pasangan remaja yang melakukan pesta sex di salah satu kafe di Ponorogo oleh Polres setempat. Salah satu mereka yang tertangkap adalah siswi SMP Faforit di kota Reong Ponorogo. Kalau kita cermati secara intelektual kecerdasannya dan kepintarannya tidak bisa di pertanyakana lagi, tapi apalah arti kecerdasan yang dia miliki kalau hanya meresahkan masyarakat.
Pertanyaanya sekarang, bagaimana seharusnya menjadi remaja cerdas dan pintar kala nilai akademik tidak membuat masyarakat bahagia, tropi yang berderet tidak berarti lagi bagi publik dan masa depan yang cerah tidak bisa di transformasikan pada orang lain demi untuk sama-sama mencicipi kebahagiaan?
Pemuda yang notabenenya pelajar tidak cukup hanya di pupuk dengan mata pelajaran yang hanya mengarah kepada bagaimana anak didik berfikir aktif sehingga menjadi pelajar yang cerdas, akan tetapi kering dengan pendidikan spritual dan moral, langkahnya hanya mengandalkan kecerdasan berfikir. Sehingga gerak geriknya hanya disetir oleh pikirannya sendiri tanpa di dorong oleh hati nurani dan kering dari nilai-nilai spritual.
Saat remaja cerdas dan pintar tidak cukup maka di butuhkan pendidikan spritual dan moral yang harus senantiasa di tanamkan pada mereka sehingga menjadi remaja cerdas secara intelektual dan spritual dan pada giliran selanjutnya berimbang dalam berdzikir, fikir dan amal sholeh sehingga masyarakat mengharapkan kehadirannya dengan bekal kecerdasan yang dimiliki. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar