Oleh : M. Kamil Akhyari
Pesantren adalah institusi pendidikan tertua di negeri ini. Terlepas dari perbedaan pendapat, siapah yang mendirikan pondok pesantren pertama kali, yang jelas pondok pesantren ada seiring dengan adanya bangsa ini. Pondok pesantren mulai diperkenalkan di indonesia pada abad ke-14 atau awal ke-15 sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama islam yang dipelopori oleh para walisongo (Marwan Saridjo, 1982 : 22).
Sebagai media dakwah, tentu kehadiran pondok pesantren tidak bisa dipisahkan dari masyarakat sebagai objek sasaran. Pondok pesantren dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pesantren tanpa masyarak tidak mungkin dapat menyalurkan dakwahnya untuk menyebarkan dan mengembangkan agama islam, dan masyarakat tanpa kehadiran pesantren tak mungkin dapat mengenal, apalagi mengamalkan ajaran agama islam yang selama ini menjadi keyakinanya.
Berbicara peran pondok pesantren, pesantren tak hanya sebatas dakwah menyebarkan agama islam. Kiprah kaum sarungan (baca: warga pesantren) dalam membangun bangsa ini tak dapat kita pungkiri. Pada tahun 1900-an muncul santri-santri yang sangat keras melawan penjajah sebagai tanda rasa nasionalisme. Untuk menyatukan rakyat melawan penjajah, organisasi sosial keagamaan (seperti NU dan Muhammadiyah) adalah wadan paling efektif untuk menyatukan kekuatan dalam rangka mengusir penjajah.
Kehadiran kiai sebagai otoritas pesantren di tengah-tengah masyarakat memainkan peran yang sangat penting. Perkembangan pesantren pada masa selanjutnya, pengasuh pondok pesantren (kiai) bukan hanya sebatas tempat konsultasi agama (yang bersifat ukhrawi), bahkan urusan-urusan dunia seperti mencari jodoh, ekonomi, dan masalah pengobatan-pun, resep kiai dinilai lebih berharga ketimbang resep yang di sarankan oleh dokter.
Ini semua menjadi bukti nyata, peran pesantren dan kiai di tengah-tengah masyarakat sangat vital. Namun, angkir-akhir ini seiring dengan bergulirnya globalisasi, pesantren (dan tentu di dalamnya kiai) dan masyarakat mulai dibatasi dinding jarak yang begitu tebal. Masyarakat sudah tidak lagi merebahkan semua peroblematika kehidupannya kepada kiai, dan kharisma kiai mulai memudar. Mengapa bisa demikian?
Penyebab utama memudarnya kharisma kiai, karena kiai sudah tidak lagi menjalankan peranannya sebagai warasatul anbiya’ : pengayom masyarakat (mundzirul kaum). Kiai lebih asyik bergaul dengan para pejabat publik ketimbang dengan masyarakat akar rumput.
B O M
Tahun 2011 ini adalah tahun segar untuk madrasah diniyah atau madrasah salafiyah yang selama ini di anak tirikan oleh pemerintah. Pasalnya, tahun ini negara mengeluarkan dana sebesar 16.8 T untuk biaya Badan Operasional Sekolah (BOS). Jangakauan dana ini diperluas dan tidak hanya sebatas sekolah dan madrasah yang selama ini dijalankan, tapi pesantren salafiyah juga akan mendapatkan dana Badan Operasional Madrasah (BOM).
Keperihatinan pemerintah ini untuk mensejajarkan madrasah diniyah dengan sekolah lain patut diapresiasi. Namun pada saat yang bersamaan timbul pro kontra di kalangan LSM, pengamat dan praktisi pendidikan.
Orang yang pro dengan adanya dana BOM berasumsi, adanya suplai dana dari pemerintah, madrasah salaf dapat meningkatkan profesionalismenya. Ketersediaan jaminan dana operasional, madrasah bisa lebih fokus untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan, karena tidak perlu lagi memikirkan biaya “dapur” madrasah.
Sementara pihak yang kontra dengan adanya BOM mencoba mengkaji lebih dalam, mereka melihat lebih jauh dan dampak dari adanya campur tangan pemerintah kepada madrasah diniyah, dengan merefleksi pesantren yang telah “berselingkuh” dengan negara.
Jika kita amati madrasah pesantren yang telah berubah status dari madrasah muallimin menjadi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, bermula dari perselingkuhan pesantren dengan negara, pesantren dan masyarakat mulai ada jarak. Pesantren lebih asyik bercengkrama dengan pengurus negara daripada mengayomi masyarakat, dan pada saat yang bersamaan pesantren mulai meninggalkan fungsi utamanya: pengayom masyarakat (mundzir kaum).
Akibat dari perselingkuhan inilah budaya gotong royong yang menjadi ciri khas pesantren mulai memudar. Masyarakat yang biasanya siap kapan saja untuk membantu pesantren saat ini mulai mengkalkulasi untung rugi. Alasan mereka, untuk apa pesantren perlu dibantu, wong pesantren sudah dapat kucuran dana dari pemerintah.
Dampak campur tangan negara kepada pesantren tidak hanya sebatas sampai disitu, adanya dana BOM memperlihatkan pesantren tidak lagi mandiri. Pesantren yang dikenal mandiri dan tidak bergantung pada pihak lain sepertinya semakin terkikis, dan budaya kapitalisme mulai masuk dunia pesantren.
Pesantren yang sejatinya sebagai tempat menimba ilmu dan menempa moral mulai kehilangan identitasnya, pesantren beralih menjadi tempat bisnis. Tak heran jika pesantren-pesantren kecil rebutan murid dan “memoles” data siswa demi untuk mendapatkan dana BOM sebanyak mungkin. Dan kaum pesantren yang dikenal ikhlas dalam mengajar sekalipun tidak digaji, keikhlasannya mulai terkikis dan mulai mengkalkulasi untung rugi.
Pertanyaanya sekarang, bagaimana seharusnya kaum pesantren menyikapi dana Badan Operasional Madrasah? Falsafah al-muhafaza ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah (melestarikan peninggalan masa lalu, dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih baik ) harus senantiasa menjadi rujukan utama kaum pesantren. Pesantren harus kembali ke khitah, yaitu mengayomi, mengabdi dan memberdayakan masyarakat. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar