M. Kamil Akhyari
Judul: Pembaruan Hukum Islam di Indonesia; Telaah Kompilasi Hukum Islam Penulis: Dr. H. A. Malthuf Siroj, M.Ag.
Pengantar: Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., D. CL.
Penerbit: Pustaka Ilmu, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2012
Tebal: xvi+254 Halaman
ISBN: 978-602-19212-0
Ketegangan sosial dari masa ke masa tak bisa kita pungkiri. Hal ini jadi pertanda masyarakat sebagai makhluk hidup terus bergerak dan berubah. Kegelisahan masyarakat ada kalanya terkait dengan realitas sosial yang tidak seirama dengan tuntunan yang diyakini. Untuk mengikat dan mengatur pergaulan antar-anggota masyarakat yang beragam dibuatlah aturan-aturan yang bernama hukum. Dengan demikian, hukum berfungsi untuk memerintah, mengontrol dan menindak masyarakat yang berlawanan dengan hukum guna mencapai ketertiban umum.
Namun, belakangan ini hukum kehilangan fungsinya untuk menciptakan ketertiban umum. Masyarakat tak lagi mengindahkan peraturan karena hukum tak lagi mengakomodasi kebutuhan masyarakat kontemporer sehingga dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, hukum dituntut dinamis dan terbuka.
Dalam ilmu hukum, peraturan yang baik adalah hukum yang dibuat oleh masyarakat tertentu dari masyarakat tertentu untuk masyarakat tertentu pula.Pembaruan hukum dalam konteks ini multak dibutuhkan, sehingga bisa dijalankan dengan nyaman tanpa terikat tekanan atau paksaan.
Berkaitan dengan pembaruan hukum, kehadiran buku Pembaruan Hukum Islam di Indonesia menjadi sangat penting. Signifikasi kehadiran buku ini ketika penulis, alumni pesantren yang telah tidak asing dengan hukum Islam (fiqih), mencoba mendiskusikan hukum Islam di negara yang tidak berasaskan Syariat Islam. Upaya penulis untuk memadukan teori hukum agama dengan hukum positif tanpa terjebak dalam kubangan dua kutub yang saling bertentangan adalah bagian dari upaya umtuk melestarikan tradisi ulama salaf, ijtihad. Dengan itu, pintu ijtihad hasih terbuka.
Telah kita mafhum bersama, Indonesia adalah negara demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Karena Indonesia memiliki aturan perundang-undangan tersendiri dalam kasus tertentu tidak menutup kemungkinan berbeda dengan hukum Islam, bahkan bertentangan. Dalam hal ini umat Islam Indonesia dihadapkan dengan situasi yang dilematis. Pada satu sisi negara menuntut warga negara tunduk pada hukum negara dan disisi yang lain agama menuntut umatnya patuh terhadap tuntunan agama.
Mendialogkan dua hukum yang tidak selamanya senafas untuk masyarakat yang sama menuntut reinterpretasi atas bunyi hukum untuk diselaraskan dan dipadukan. Pendek kata, pembaruan hukum menjadi sebuah keniscayaan. Pertanyaannya sekarang, mana diantara keduanya yang lebih memungkinkan untuk dilakukan penafsiran ulang?
Jika hukum negara harus diperbarui dengan mengadopsi hukum agama, sangat tidak memungkinkan, mengingat warga negara yang beragam etnis, ras, sosial, suku dan agama. Maka, salah satunya yang memungkinkan dan mau tidak mau adalah reinterpretasi atas hukum Islam. Membuka kembali tirai pintu ijtihad untuk didialogkan dan disesuaikan dengan kondisi sosiologis warga Indonesia tanpa harus menghilangkan prinsip-prinsip agama pilihan yang lebih tepat.
Lebih memungkinkannya yang kedua untuk dilakukan pembaruan mengingat tidak sedikit teks hukum Islam yang memungkinkan dilakukan pembaruan, lebih-lebih dalam hubungan horizontal (muamalah). Selain secara substansial hukum Islam memiliki potensi untuk selalu bersinergi dengan perkembangan zaman (hlm. 139).
Merespon kegelisahan masyarakat untuk tidak terjebak dalam dua kutub ekstrem, kaum intelektual Indonesia telah mencoba melakukan aktifitas ijtihad untuk menelaah hukum Islam yang bercorak Hijazi dan Mishri untuk dikontekskan dan dirangkai sesuai dengan kondisi sosiologis Indonesia.
Selama ini tokoh yang telah tercatat melakukan aktifitas intelektual membuka lembaran baru fiqih Indonesia antara lain, Hasbi Ash-Shiddiqi melalui tema Fiqh Indonesia, Hazairin dengan Fiqh Madzhab Nasional, Munawir Syadzali dengan Reaktualisasi Ajaran Islam, Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi Islam, MA. Sahal Mahfudz dengan Fiqh Sosial, Masdar Farid Mas’udi dengan Agama Keadilan, Harun Nasution dengan Islam Rasional, dan Bustanul Arifin dengan Fiqh Undang-Undang (hlm. 130).
Selain dilakukan individu, negara melalui Menteri Agama (sekarang Kementrian Agama) juga telah melakukan pembaruan hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman bagi para hakim Peradilan Agama patut diapresiasi sebagai upaya untuk mempermudah penegakan hukum dan keadilan yang sesuai dengan sosiologis masyarakat Indonesia, yang pada awalnya para hakim merasa terhambat dalam menegakkan hukum karena satu-satunya harus merujuk kepada kitab karya ulama Timur Tengah yang telah berumur ratusan tahun. Sekalipun sebagian besar buku KHI tidak mengalami perubahan dari kitab fiqih, namun tidak sedikit yang mengalami pembaruan hukum dan penyesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat.
Dr. H. A. Malthuf Siroj mencatat, tidak kurang dari 19 pembaruan dalam Kompilasi Hukum Islam. Salah satu contoh yang dikemukakan, sebagaimana dikutip dari pasal 55-59, seorang suami yang ingin berpoligami harus mendapat idzin dari Pengadilan Agama. keterlibatan negara dalam boleh tidaknya seorang suami melakukan poligami sedikit berbeda dengan hukum Islam (fiqih) yang membolehkan poligami tanpa syarat yang begitu ketat. Pembatasan yang cukup ketat dengan melibatkan negara, menurutnya, tidak bertentangan dengan prinsip Islam karena untuk menjaga kemaslahatan keluarga (hlm. 193).
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum dan agar hukum Islam relavan dengan perkambangan zaman, di era teknologi informasi yang juga telah masuk ke dunia Islam, pembaruan hukum Islam semakin penting untuk terus digalakkan.
Abad Kebangkitan
Para ahli memprediksi abad 21 sebagai abad kebangkitan Islam. Melihat dari upaya untuk merombak kembali tatanan hukum yang telah dianggap mapan, baik yang dilakukan individu maupun kolektif melalui ormas atau negara, hal itu semakin jadi pertanda kuat salah satu tanda era kebangkitan kembali Islam, mengingat zaman keemasan Islam pada masa silam ditandai dengan apreasi atas kreasi dan ide untuk rekonstruksi tatanan yang telah dianggap mapan.
Namun demikian, kekerasan dan intimidasi yang dilatari oleh gagasan yang tergolong baru dan kontroversial meruntuhkan bangunan era kebangkitan kembali Islam. Kecaman dan tindakan anarkis atas aktifitas intelektual untuk mengerahkan segala potensi sumber daya untuk mengkaji dan memproduksi hukum dari sumber utamanya dengan memahami tujuan syariat Islam (maqasid al-syariah) dan kondisi sosial masyarakat penggunanya dengan menggunakan metode tertentu yang relevan jadi pertanda kuat sejarah kemunduran Islam yang akan terulang kembali di era modern.
Sejarah telah mencatat masa kemunduran Islam yang ditandai dengan jatuhnya kota Baghdad ke Mongol. Kemunduran Islam pada saat itu sampai abad ke 13 H. karena pada fuqaha’ telah merasa puas dengan warisan ijtihad ulama terdahulu, fanatik dan menghujat orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Kurang cukup amannya melakukan aktifitas ijtihad mematikan kreatifitas kaum intelektual.
Namun juga perlu dicatat, setelah Dinasti Abbasiyah (132-656H/750-1258M) naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayah masa itu disebut periode kemajuan Islam. Kunci keberhasilan masa itu adalah perhatian para penguasa terhadap ilmu pengetahuan yang cukup besar. Para penguasa mendorong kaum intelektual untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi hukum Islam guna menghadapi pesoalan sosial yang kian kompleks. Dari generasi inilah lahirlah ahli hukum Islam seperti Imam Abu Hanifah yang terkenal dengan konsep istihsan, Imam Malik dengan mashlahah mursalah, dan Imam Syafi’i dengan qiyas.
Di Indonesia saat ini potensi untuk mengembalikan kejayaan Islam cukup syarat. Demokrasi dengan segala kebebasannya menjamin setiap warga negara bebas berfikir melakukan ijtihad, selain perhatian pemerintah terhadap ilmu pengetahuan yang cukup besar. Anggaran 20 persen untuk biaya pendidikan dari APBN serta anjuran untuk menulis di jurnal sebagai hasil aktifitas ijtihad menjadi pertanda keseriusan penguasa. Cuma sampai saat ini aktifitas rekonstruksi hukum Islam masih minim.
Dari buku setebal 254 yang terbagi dalam empat bagian, satu hal yang membuat buku ini menjadi kurang lengkap, indeks. Tiadanya indeks cukup menyulitkan pembaca melacak kata kunci tertentu pada halaman buku. selamat membuka lembaran baru hukum Islam! Wallahu a’lam.
Dinobatkan sebagai Juara III, dalam Lomba Resensi Tingkat Regional (Madura) yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.
Masih adakah yg jual buku ini ? Dmana ya kalau mau pesan ?
BalasHapusMasih adakah yg jual buku ini ? Dmana ya kalau mau pesan ?
BalasHapus