Rabu, 09 Juli 2014

Puasa Harus Menjadi Latihan Menaklukkan Ego

Judul : Obrolan Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh
Penulis : Robert Fragen PhD
Penerbit : Zaman
Tebal : 395 halaman
ISBN : 978-602-1791-97-4
Dimuat di: Koran Jakarta

Setiap tahun, umat Islam diwajibkan melakukan ritual mengekang (shaum/puasa) selama satu bulan suntuk pada bulan Ramadan. Puasa yang diperintahkan minimal mencegah makan, minum, berhubungan intim dengan pasangan, dan aktivitas lain yang dapat membatalkan puasa sejak fajar hingga beduk Magrib.

Terminologi puasa tersebut telah menjadi kesepakatan para ulama sebagai aturan lahiriah dalam ibadah puasa. Jika ada salah satu yang dilanggar, secara otomatis ritual puasa tidak sah dan harus diganti kemudian hari.

Syarat sah puasa tak ubahnya seleksi administrasi dalam melamar sebuah pekerjaan. Belum tentu semua pelamar yang lolos administrasi kemudian diterima kerja. Demikian juga dengan ritual puasa, sekalipun secara lahiriah sah belum tentu diterima di sisi Allah. Untuk diterima puasa harus memperhatikan aturan batiniah.

Hal itu dijelaskan dalam sebuah hadits nabi yang sangat terkenal, “Ada orang yang berpuasa dan tidak mendapat apa-apa kecuali rasa lapar serta ada orang yang mendirikan shalat di ujung malam dan tidak mendapat apa-apa kecuali malam tanpa tidur” (hal 285). Secara eksplisit, Nabi Muhammad ingin mengatakan bahwa bentuk lahiriah ibadah tidak memberi jaminan pelakunya mendapat buah atau dampak batiniah.

Namun demikian, lahiriah tetap menjadi aspek penting sebagai pintu masuk meraih efek batiniah (hal 286). Dengan demikian, umat Islam seharusnya tahu filosofi ibadah puasa sehingga bisa menjalankannya lahir batin.

Terlalu murah harga ritual puasa kalau hanya menjadi tradisi tahunan umat tanpa makna. Umat Islam diperintahkan menjalankan puasa untuk melatih kesabaran melakoni atau menetapi seperti menjalankan laku spritual untuk membangun dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan baik. Mereka juga harus menghindari keburukan.

Umat juga harus menolak dominasi ego atau nafsu yang terpusat pada diri sendiri (hal 271). Yang terakhir ini lebih sulit dan membutuhkan latihan spritual. Penempuh jalan Tuhan biasanya latihan di bawah bimbingan seorang guru. Jangan membangga-banggakan diri atau narsistis dengan berpuasa.

Dalam kondisi letih, lapar, jangan mudah marah atau naik darah. Ramadan mestinya menjadi latihan umat Islam untuk menaklukkan ego. Ketika ego narsistis bisa ditaklukkan, seseorang semakin berkembang rohaninya. Mereka juga akan semakin intim dengan Allah.

Buahnya, umat Islam harus tambah besar kecenderungan berbuat baik dan melayani orang lain, bukan ingin dilayani. Selanjutnya, kasih sayang menjadi penting untuk selalu ditebarkan. Puasa ini menjadi salah satu praktik tasawuf yang dikupas dalam buku Obrolan Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh.

Buku tersebut menjelaskan seluk-beluk cara mengatasi rintangan di jalan rohani dan pencarian Tuhan dalam jiwa, hati, dan lingkungan sekitar. Isi buku setebal 395 halaman ini sangat baik ditelaah dan dipraktikkan untuk menyirami kegersangan jiwa. Namun, dalam penulisannya ditemukan banyak kesalahan ketik sehingga sedikit mengganggu pembaca dalam memahami laku tasawuf yang agak rumit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar