Minggu, 09 November 2014

Mas Mono dan Ayam Bakarnya

Judul: Lezatnya Bisnis Kuliner
Penulis: Agus Pramono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbitan: Pertama 2014
Tebal: 174 halaman
ISBN: 978-602-03-0332-1
Dimuat di: Kabar Madura 7 November 2014


Buku Lezatnya Bisnis Kuliner semakin meneguhkan ungkapan bahwa untuk menjadi seorang pengusaha tidak harus berpendidikan tinggi dan lahir dari keluarga mapan secara ekonomi. Buku setebal 174 halaman itu adalah bukti konkret; anak lulusan SMA dari keluarga miskin di kampung bisa menjadi miliarder.

Agus Pramono, nama orang itu. Pemilik franchise “Ayam Bakar Mas Mono”. Usia bisnisnya masih cukup muda, belum genap 15 tahun, tapi telah mempunyai 60 cabang. Keberhasilan Mas Mono dikukuhkan dengan sejumlah penghargaan yang telah diperoleh. Misalnya, pada 2009 memperoleh Icon Success Entrepreneur dari Wapres Jusuf Kalla, dan pada 2012 mendapat Apresiasi Inovasi dan Karya dari Menteri Koperasi dan UMKM.

Namun, tidak bijak kalau hanya melihat kehidupan Mas Mono setelah seperti sekarang dengan mobil mewah dan rumah berlantai dua. Jika tidak mau mengintip kehidupan anak kelima dari enam bersaudara itu selama di Madiun yang kehidupan keluarganya memprihatinkan, sebelum hijrah ke Jakarta untuk mencari uang, setidaknya menengok kehidupannya pada tahun 2001. Pada saat itu, ia masih bukan siapa-siapa di ibu kota Indonesia.

Anak lulusan SMA itu hanya penjual gorengan yang kemudian beralih berjualan ayam bakar. Lapaknya menempati milik Orang Madura yang beralih menjadi TKI. Sebelum terjun di bisnis kuliner, ia sempat bekerja sebagai kernet angkutan kota, pedagang asongan, hingga office boy. Tempat tinggalnya di pinggir sungai di Bendungan Hilir, numpang di rumah kakaknya yang hanya berukuran 3 x 3 meter.

Dari bekal uang Rp 500 ribu sisa gaji sebagai OB, Mas Mono memulai usahahnya berjualan gorengan. Langkah awal membuka lapak tersebut tergolong nikat, karena untuk menyalakan kompor gas dari minyak tanah saja tidak tahu. Sementara ilmu meracik bumbu diperoleh dengan cara bereksperimen dan berkunjung ke outlet kuliner orang lain (hlm. 40).

Lalu membuka lapak ayam bakar kalasan. Namun, usaha memperoleh untung lebih besar itu tidak berjalan mulus. Mas Mono mengaku sangat terkesan dengan peristiwa saat pertama kali mendorong gerobak ke tempat jualan di depan Universitas Sahid di Jalan dr Supomo. Gerobaknya jatuh karena lubang di tanjangan. Akibatnya, semua ayam tumpah dan bercecetan di jalan raya (hlm. 45).

Sudah celaka di jalan setelah buka pembeli sepi. Namun cita-cita menyaingi KFC tak pernah surut. Mas Mono terus menjalankan bisnisnya dengan sabar dan berinovasi. Pelan-pelan pelanggan terus bertambah, dan pada akhirnya merasa kewalahan dan membutuhkan bantuan karyawan. Bahkan pernah menerima order katering sebanyak 200 boks dan 4000 boks (hlm. 62).

Seiring dengan keuntungan lebih besar yang diperoleh, cobaan datang silih berganti. Mulai dari terjaring razia Satpol PP, tempat berjualan digusur, tertipu saat hendak membeli lapak, wabah flu burung yang menurunkan omzetnya, dan berbagai ujian hidup lainnya. Namun, Mas Mono bisa menjalani ujian tersebut, sehingga pada akhirnya mempunyai 60 cabang dan 1000 karyawan (hlm. 80).

Jimat Penglaris
Menurut Mas Mono, ada lima “jimat” penglaris gratis yang mengantarkan dirinya menjadi miliarder. Pertama, strategi pemasaran. Strategi yang digunakan dengan memajang foto-foto figus publik dengan dirinya yang mencicipi bisnis kulinernya. Sehingga pelanggan lain terkesan bahwa dirinya telah makan makanan level orang tinggi (hlm. 87).

Kedua, kerja sama. Mas Mono mendekati orang-orang yang mampu memberi nilai tambah pada bisnis yang digeluti. Pada awal mula menggunakan seragam, ia kerja sama dengan perusahaan penyedap rasa sehingga mendapat kaos. Demikian juga dengan neon box tanda warung dan daftar menu (hlm. 92).

Ketiga, lokasi. Agar bisnis kuliner ramai dikunjungi, tempat yang strategis sebuah keniscayaan. Tidak ada gunanya harganya murah tapi lokasinya tidak strategis, karena hanya merugikan bisnis kuliner (hlm. 95).

Keempat, memaksimalkan yang dimiliki. Mas Mono membuktikan bahwa untuk membesarkan usaha tidak melulu harus pinjam ke bank. Modal yang ada diputar terus. Ia menyarankan untuk menjauhi pinjam modal yang berbunga (hlm. 99).

Kelima, stratategi kemasan. Kemasan di sini tidak hanya menyangkut penataan ruangan, spanduk, dan dislay produk, tapi juga dalam gaya beriklan. Kemasan mencakup nilai keindahan dan kenyamanan pengunjung (hlm. 104).

Buku terbitan Gramedia tersebut penting dipelajari untuk membangkitkan gairah kewurausahaan, dan menjadi komparasi bagi pelaku bisnis. Ada yang menarik dari bisnis Ayam Bakar Mas Mono. Perusahaan diorientasikan sebagai tempat mengasah spiritualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar