Minggu, 15 Februari 2015

Mengenal Lebih Dekat Cak Nur

Judul : Cak Nur, Sang Guru Bangsa
Penulis : Muhamad Wahyuni Nafis
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbitan : Pertama, 2014
Tebal : 370 halaman
ISBN : 978-979-709-865-0
Dimuat di: Harian Bhirawa, 13 Februari 2015

Cak Nur menempatkan keislaman dan keindonesiaan dalam satu tarikan nafas. Di tangannya, Islam dan Indonesia berkolaborasi dan saling mengisi. Hasil kerja intelektualnya untuk terwujudnya Indonesia modern, sebagaimana negara-bangsa yang Nabi pernah pimpin.

Namun tak semua pihak paham, sehingga gagasan Nurcholish Madjid atau Cak Nur kerap mengundang kontroversi. Ide pembaruan pemikiran Islam sebagai konsekuensi logis integrasi Islam dan Indonesia oleh sebagian orang dipahami salah. Tak jarang penghinaan dialamatkan hingga pada pribadinya, walaupun orangnya telah menghadap Tuhan sejak 29 Agustus 2005.

Kebencian yang mengarah pada personal, misalnya, tentang meninggalnya Cak Nur dengan wajah kusut dan hitam. Hal itu dikaitkan dengan mati dalam keadaan tidak baik (su’ul khatimah) dalam Islam. Sayang, Nafis tidak memberikan klarifikasi dan sedikit sekali mengulas aktivitas keagamaan Cak Nur.

Padahal, tuduhan tersebut tidak berbanding lurus dengan kehidupan pribadi Cak Nur yang setiap gerak geriknya diorientasikan ibadah. Dalam sebuah jamuan makan di Denver, Amerika Serikat, dengan tegas Cak Nur menolak tawaran minum anggur. “Dalam agama saya, minuman ini (anggur) tidak dibolehkan,” tegasnya (hlm. 53).

Cak Nur memang bukan orang yang terpelihara dari salah dan pemikirannya juga mengandung kemungkinan salah. Pendapatnya tak harus diterima semua pihak secara mutlak. Sikap kritis perlu dan penting sebagai ciri masyarakat modern yang didambakan Cak Nur. Namun, kritik harus tetap dilandasi etika dan rasionalitas.

 Kritik rasional-konstruktif hanya diperoleh dari orang yang memiliki wawasan luas, analisis mendalam, membuang praduga, dan klaim paling benar. Di sini pentingnya membaca pemikiran Cak Nur secara utuh. Yudi Latif menyebut buku Cak Nur, Sang Guru Bangsa sebagai tulisan paling otoritatif tentang biografi pemikiran.

Islam dan Indonesia
Di negeri ini, agama dan negara berjalan tanpa benturan bahkan saling membutuhkan, tanpa perlu dilebur seperti Romawi atau dipisah seperti Amerika Serikat. Arah bangsa mendapatkan pijakan dari nilai-nilai agama sementara ajaran Islam mendapatkan ruang di Indonesia. Kolaborasi ini membuat Indonesia tak pernah dilupakan dalam kajian keislaman, demikian sebaliknya.

Relasi Islam dan Indonesia juga jadi perhatian Cak Nur, dan merupakan muara dari pengintegrasian ajaran dan nilai-nilai keislaman dengan kemanusiaan, kemoderenan, dan politik yang menjadi strategi pemikirannya (hlm. 211). Cak Nur meyakini Islam tidak menghambat bahkan sangat mendukung terwujudnya Indonesia modern.

Namun, solusi Islam atas masalah-masalah yang terjadi di negara lain tidak dapat begitu saja ditiru dalam menyelesaikan masalah di Indonesia (hlm. 231). Dengan demikian, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim perlu mengetahui secara tepat lingkungan sosial-budaya tempat ajaran Islam hendak dilaksanakan, dan konsekuensinya pembaruan pemikiran Islam adalah sebuah keniscayaan.

Nafis menyederhanakan agenda liberalisasi ajaran Islam Cak Nur ke dalam tiga pemikiran besar, yaitu (1) tauhid, (2) pluralisme, dan (3) Indonesia sebagai bangsa-negara modern (hlm. 237).

Pertama, tauhid tidak bermakna pasif hanya sekadar berarti percaya kepada Allah. Menurut Cak Nur, tauhid yang benar akan menjadi sarana pembebasan diri karena semua manusia setara. Implikasi terpenting dari pembebasan adalah terbentuknya jiwa yang terbuka (hlm. 246).

Sedangkan dalam kitab suci, prinsip tauhid dikaitkan dengan menolak thaghut (kekuasaan tiranik, mutlak, dan otoriter) [hlm. 250]. Berdasarkan prinsip tersebut, tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan yang demokratis, terbuka, dan egaliter.

Kedua, Indonesia negara heterogen. Luasnya terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan ragam kekayaan daerah masing-masing. Tapi keberagaman disatukan akan kepercayaan adanya Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Ini alasan Cak Nur menaikkan pluralitas menjadi pluralisme.

Kemajmukan keagamaan (religious plurality) yang Cak Nur maksud bukan secara langsung mengakui akan kebenaran semua agama dalam bentuk nyata sehari-hari. Namun semua agama diberi kebebasan untuk hidup dengan risiko yang akan ditanggung oleh para pengikutnya masing-masing (hlm. 274).

Sendi-sendi kemajemukan Islam tersebut sebenarnya telah terlaksana dalam sejarah panjang. Pluralisme Islam telah memberikan ruang kebebasan agama dan ekonomi bagi kaum Yahudi di masa lalu. Kata Cak Nur, paham kemajemukan masyarakat yang dimiliki ajaran Islam adalah nilai keislaman yang sangat tinggi bagi kemoderenan (hlm. 219).

Ketiga, para pendiri bangsa merancang Indonesia sebagai negara-bangsa bukan tanpa maksud. Menurut Cak Nur, tujuan negara-bangsa untuk mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah al-mursalah). Yang menjadi pembeda dengan negeri kerajaan, negara-bangsa terbentuk berdasarkan kontrak sosial (hlm. 295).

Kontraktual yang dibayangkan Cak Nur seperti Bay’at Aqabah antara Nabi dan para utusan penduduk Yatsrib. Dengan kontrak tersebut, Nabi dan pengikutnya memperoleh keselamatan dan keamanan, dan penduduk Yatsrib memperoleh jaminan kepemimpinan Nabi yang adil dan bijaksana. Indonesia hingga kini sedang proses menjadi negara-bangsa modern. Pemikiran Cak Nur tetap relevan untuk mempercepat terwujudnya tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan, toleransi, pluralisme, egalitarianisme, dan demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar