Rabu, 04 Februari 2015

Politik Hukum dalam KHI

Judul: Fiqh Indonesia
Penulis: Marzuki Wahid
Penerbit: Marja (Grup Nuansa Cendekia)
Terbitan: Pertama, April 2014
Tebal: 428 halaman
ISBN: 9792457941
Dimuat di: Kabar Madura, 8 Oktober 2014

Corak Islam Indonesia unik. Mayoritas penduduknya mengidentifikasi diri sebagai muslim, namun konstitusi negaranya tidak didasarkan pada agama tertentu. Empat pilar Indonesia bukan Al Qur'an, hadits, ijma', dan qiyas, tapi Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, sekalipun model pemerintahan menganut sistem demokrasi, bukan teokrasi, produk-produk hukumnya tidak mencederai masyarakat muslim. Ketundahan pada hukum negara tidak lantas harus menggadaikan kesalehan pada hukum agama (syari'ah). Kata pepatah, umat Islam Indonesia bisa menyelam sambil minum airnya. Menjadi warga negara yang baik sekaligus muslim yang taat.

Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, hukum Islam menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Kendatipun hukum Islam tergolong hukum yang otonom, namun pada implementasinya cocok dengan budaya lokal. Oleh karenanya, hukum Islam bisa menjadi kekuatan moral masyarakat yang mampu berhadapan dengan hukum negara.

Akumulasi dari dialektika inilah pada akhirnya melahirkan fikih mazhab baru, aliran hukum Islam yang digali oleh dan dari bumi Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang lahir dari rahim Orde Baru bagian kecil dari wujud fikih Indonesia. Pada hakikatnya, menurut Marzuki Wahid, fiqih Indonesia sudah ada sejak masyarakat muslim Indonesia secara teologis menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara konstitusinya (hlm. xl).

Keunikan inilah barangkali yang membuat Indonesia tak pernah dilupakan dalam setiap kajian keislaman. Sebuah studi keislaman rasanya belum lengkap jika tidak melibatkan Indonesia. Kajian ini selalu menarik dan terus berlangsung, sekalipun sudah bertebaran hasil penelitian tentang Islam Indonesia. Selalu ada sisi-sisi lain yang tak tersentuh.

Buku Fiqih Indonesia menjamah yang tak tersentuh itu. Penelitian Marzuki Wahid tentang Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sebenarnya bukan satu-satunya. Tidak sedikit karya hasil penelitian tentang KHI. Sebagian besar isinya memuji keberadaan KHI. Marzuki Wahid menelanjangi KHI dan CLG-KHI dalam bingkai politik hukum Indonesia.

Sebagaimana rumusan kesimpulan disertasi Moh. Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi dan ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkan (hlm. 24-25). Dengan demikian, karakter hukum KHI yang lahir pada masa Orde Baru, tentu tidak bisa lepas dari pengaruh politik pada saat itu.

Gagasan KHI sendiri dilatarbelakangi oleh kebutuhan teknis yustisial Pengadilan Agama. Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada paruh awal rezim Orde Baru menuntut adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang dapat dijadikan pegangan hakim (hlm. 109).

Pada paruh akhir Orde Baru, buku itu disusun. Ada tiga buku pedoman (perkawinan, kewarisan, dan perwakafan) untuk para hakim dilingkungan pengadilan agama untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari perbedaan penafsiran terhadap hukum Islam (hlm. 110-111).

Dalam kajian politik hukum, karakter hukum KHI bersifat konservatif (hlm. 171). Dalam pasal-pasalnya nyaris tidak ada inovasi, kecuali hanya menjiplak dari fikih klasik. Kepentingan penguasa Orde Baru memang bukan untuk pembaruan hukum Islam Indonesia. Pemerintah hanya berkepentingan untuk memberikan kepastian hukum dan ketertiban umum.

Menciptakan dan menerapkan hukum melakukan perundang-undangan secara ketat untuk mewujudkan keadilan hukum dalam menunjukkan pembangunan nasional. KHI bagian dari upaya untuk memberikan kepastian hukum dan ketertiban. Oleh karenanya, bukan sesuai yang aneh jika produk undang-undangnya bersifat konservatif, sebagaimana pada umumnya (hlm. 172).

Dari sisi fungsi hukum, KHI bersifat regulatif dan kegitimatif (hlm. 179). Pasal-pasal KHI lebih banyak mengatur hukum yang bersifat teknis-prosedur dan praktis-operasional ketimbang mengubah kondisi masyarakat, dan hampir seluruh isinya melegitimasi keberadaan instansi yang dibentuk negara.

Pemfungsian hukum sebagai legitimasi untuk mendukung status qua dan program pembangunan. Dalam hak ini hukum Islam didayagunakan -untuk tidak mengatakan politisasi- lewat legislasi untuk membenarkan aturan hukum positif negara dan sekaligus pembentukan negara secara syar'i (hlm. 183).

Pada tahun 2003, Depag RI menyerahkan Rancangan Undang-undang Hukum Terapan Pengadilan Agama kepada DPR, untuk menyempurnakan materi KHI dan meningkatkan statusnya dari Inpres menjadi undang-undang. Inisiatif itu kelahiran naskah tandingan berupa Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).

Tim CLD-KHI mengemukakan tiga alasan yang mengharuskan KHI diubah sebelum jadi undang-undang. (1) KHI memiliki kelemahan pokok pada rumusan visi-misinya. (2) Sejumlah pasal tidak lagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan konversi internasional yang telah diratifikasi. (3) KHI terkesan replika hukum fikih zaman dahulu (hlm. 208-209).

CLD-KHI menawarkan pemikiran pembaruan hukum Islam keluarga dalam persepektif demokrasi, pluralisme, HAM, dan kesetaraan gender (hlm. 201). Rancangan undang-undang tandingan yang disusun Pokja Pengarusutamaan Gender Depag RI itu menuai kontroversi, dikritis sekaligus diapresiasi. Tapi pada akhirnya dibekukan oleh Menteri Agama.

Kendatipun CLD-KHI hingga saat ini dibekukan, mengkajinya tetap menarik. Pengkaji keislaman, khususnya hukum Islam, tidak boleh melewatkan buku Fiqh Indonesia dalam mengamati fenomena Islam Indonesia. Secara runut, Marzuki Wahid memaparkan proses pembentukan hingga disebarkannya KHI, dan proses diskusi hingga dibekukannya CLD-KHI.

Dalam buku setebal 428, pembaca bisa membandingkan metodologi KHI dan CLD-KHI, sekaligus membandingkan isi pasal demi pasal keduanya. Buku itu dilengkapi dokumen KHI dan CLD-KHI. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar