Minggu, 01 Februari 2015

Yogyakarta yang Istimewa

Judul: Gegar Keistimewaan Jogja
Penulis: Kamil Alfi Arifin
Penerbit: Ladang Kata, Yogyakarta
Terbitan: Pertama, 2014
Tebal: 207 halaman
ISBN: 978-602-14560-5-7
Dimuat di: Koran Madura, Jumat 30 Januari 2015

Yogyakarta kota istimewa. Publik mengenalnya sebagai kota pendidikan, seni, dan budaya. Di kota inilah tradisi leluhur terawat cukup baik, termasuk tradisi suksesi kepemimpinan melalui penetapan. Pengecualian dalam sistem pergantian kepemimpinan dari umumnya termaktub dalam konstitusi dan disebut sebagai keistimewaan tersendiri untuk Jogja.

Pesona dan keistimewaan Jogja mengundang "iri" beberapa pihak. Dengan sistem penetapan atau penunjukan pucuk pimpinan, tak semua warga negara bisa mengakses kekuasan. Pihak-pihak yang merasa "dirugikan" menilai penetapan gubernur feodal, monarki, dan tak demokratis. UUD 1945 pun beberapa kali dirombak, dan pada akhirnya disusun RUU Keistimewaan Yogyakarta pada 2004 untuk mengatur secara khusus apakah Jogja tetap akan diperahankan dengan gelar istimewa atau tidak.

Saat Presiden SBY mengkontraskan demokrasi dengan monarki dalam rapat terbatas yang salah satunya membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta, 16 November 2010, rakyat Jogja marah. Mereka sudah merasa nyaman dengan sistem yang oleh pemerintah pusat dinilai tak demokratis. Gelombang demonstrasi dan berbagai kecaman terhadap pemerintah pusat datang bertubi-tubi.

Sejak saat itu, media luar ruang (spanduk, baliho, bendera, dan poster) polemik keistimewaan Yogyakarta dipajang di banyak ruang publik di Yogyakarta, seperti sepanjang Jalan Malioboro, Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, DPRD (hlm. 58). Media luar ruang tersebut dikemas menarik sehingga menjadi perhatian publik, termasuk Kamil Alfi Alfian. Insting penelitinya langsung bergerak untuk mengambil inisiatif melakukan penelitian.

Buku Gegar Keistimewaan Jogja adalah buku hasil penelitian ilmiah tentang perlawanan rakyat Jogja kepada pemerintah pusat yang ngotot ingin menyeragamkan pemilihan langsung dalam suksesi kepemimpinan. Buku setebal 207 halaman menjawab bagaimana wacana keistimewaan Yogyakarta diproduksi dalam media luar ruang dan relasi kuasa di balik produksi wacana tersebut.

Kelompok pro keistimewaan dan penetapan melakukan pengakuan-pengakuan pengetahuan tentang keistimewaan Yogyakarta melalui strategi berwacana yang memanfaatkan media luar ruang, semisal pengetahuan tentang Presiden SBY mencampuradukkan kekuasaan sebagai kepala negara dan pucuk pimpinan Partai Demokrat, pengetahuan tentang dukungan masyarakat akar rumput yang mendukung penetapan, dan pengetahuan tentang sejarah Yogyakarta dalam hubungannya dengan NKRI (hlm. 168).

Dalam relasi kuasa di balik produksi wacana polemik keistimewaan Jogja, tak ditemukan pemikiran Gayatri Spivak yang memisahkan kaum elite dan subaltern secara tegas. Spivak menyebutkan ciri kaum elite mampu bicara, superior, dan memiliki akses kekuasaan. Sebaliknya, kaum subaltern tak bisa bicara, inferior, dan tak memiliki akses kekuasaan. Pada konteks tersebut, kaum subaltern, dalam hal ini pro penetapan, seolah-olah tampak mampu bicara dengan begitu lantangnya (hlm. 169).

Penelitian dengan titik fokus media luar ruang masih tergolong baru di Indonesia, dan hasil penelitian sarjana Komunikasi (Jurnalistik) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu tidak basi dan tetap penting ditelaah sekalipun polemik keistimewaan Yogjakarta telah berakhir. Kasus serupa di daerah lain tidak menutup kemungkinan juga terjadi.

Namun, buku terbitan Ladang Kata tersebut tidak dilengkapi indeks, sehingga sedikit menyulitkan pembaca untuk mencari kata-kata kunci dalam buku setebal 207 halaman. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar